Kamis, 13 November 2014

MAKALAH KEPEMIMPINAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Islam adalah din yang sempurna. Sejak diturunkan empat abad silam, islam telah memberikan kepada manusia pemecahan secara menyeluruh atas semua permasalahan yang sedang maupun akan dihadapi oleh manusia. Allah swt dalam hal ini berfirman :
  tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.”(al-Maidah:3)

Sebagai pedoman yang datang dari Allah, tentu saja al-qur’an mampu memecahkan permasalahan yang terjadi pada makhluknya, karena Allah maha mengetahui apa saja yang menjadi permasalahan makhluknya sekaligus bagaimana memecahkan problematika yang terjadi pada mereka.
Islam tidak hanya mengatur masalah hubungan manusia dengan Tuhannya. Islam juga mengatur dan menyelesaikan masalah diseputar hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya. Itulah wujud dari kesempurnaan ajaran islam.
Adapun aturan islam dalam cakupannya sebagai aturan diantara sesama manusia adalah mengenai kepemimpinan atau pemerintahan. Khusus berkaitan dengan pembahasan mengenai aturan-aturan dalam hal kepemimpinan, akan diuraikan sebagai berikut.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pemimpin dan kepemimpinan..?
2.      Bagaimana prinsip kepemimpinan dalam islam..?
3.      Siapakah yang berhak mengangkat pemimpin..?
4.      Sejauhmana ketaatan dilakukan terhadap pemimpin..?
5.      Apa tujuan adanya kepemimpinan dalam islam..?
6.      Bagaimana pandangan ulama ahlus sunnah wal jama’ah tentang kepemimpinan islam..?
7.      Bagaimana pandangan dunia internasional terhadap kepemimpinan islam..?
8.      Benarkah Allah menjanjikan kekuasaan kepada orang – orang beriman dan beramal sholih...?
C.      Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar kita umat islam dapat mengetahui aturan islam tentang kepemimpinan. Dan juga agar kita dapat mengetahui bahwa menegakkan kepemimpinan islam dalam rangka menerapkan syariah islam adalah suatu kewajiban yang mesti ditunaikan. Sehingga aturan islam dapat diterapkan secara menyeluruh dipermukaan bumi ini, terkhusus dalam mengatur umat muslim sedunia. Juga agar kaum muslimin menjadi umat terbaik secara nyata sebagaimana yang telah disampaikan oleh Allah dalam surah ali-Imran:110.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan
Pemimpin berasal dari kata ro’a – yar’i – ri’a~yatan yang berarti ha~fadzon (penjaga, pengawas). Dengan demikian pengertian pemimpin disini menurut al-Qosthalany adalah orang yang menjaga dan dipercaya serta berkewajiban menjaga kebaikan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, dan kepercayaan apapun sifatnya harus bisa berbuat adil dan menegakkan kemaslahatan baik agama maupun urusan dunia.[1]
Didalam islam, pemimpin juga disebut Khalifah yang artinya wakil, pengganti atau duta. Sedangkan secara istilah Khalifah adalah orang yang bertugas menegakkan syariat Allah SWT , memimpin kaum muslimin untuk menyempurnakan penyebaran syariat Islam dan memberlakukannya kepada seluruh kaum muslimin secara wajib, sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW .
Kepemimpinan islam disebut khilafah atau dapat pula berarti suatu pemerintahan atau kekuasaan (daulah). Kata khilafah juga merupakan sinonim dari kata imamah. Kata imamah (imam) berarti orang yang mengurus pemerintahan.
Kepemimpinan khilafah berbeda dengan sistem kerajaan (mulk, mamlakah). Pemerintahan kerajaan memerintah rakyat sesuai kemauan raja, sementara khilafah memerintah rakyat sesuai dengan pandangan syara’. Jadi, khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin diseluruh dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah islam dan sekaligus mengemban dakwah islam keseluruh penjuru dunia.[2]  
Dari pengertian diatas jelas bahwa pemimpin menurut pandangan Islam tidak hanya menjalankan roda pemerintahan begitu saja namun seorang pemimpin harus mewajibkan kepada rakyatnya untuk melaksanakan apa saja yang terdapat dalam syariat Islam walaupun bukan beragama Islam. Serta mempengaruhi rakyatnya untuk selalu mengikuti apa yang menjadi arahan dari seorang pemimpin.
Sedangkan kepemimpinan secara umum adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi perilaku seseorang, sehingga apa yang menjadi ajakan dan seruan pemimpin dapat dilaksanakan orang lain guna mencapai tujuan yang menjadi kesepakan antara pemimpin dengan rakyatnya.[3]

B.       Prinsip Kepemimpinan dalam Islam
Islam dalam mengatur sistem kepemimpinannya hanya mengenal “kedaulatan Tuhan” sebagai kedaulatan tertinggi dalam negara.
Ketentuan ini tertuang dalam firman-Nya yang berbunyi :
x8t»t6s? Ï%©!$# ÍnÏuÎ/ à7ù=ßJø9$# uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÈ  
Artinya: “Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al Mulk: 1)
Dan didalam firman-Nya yang lain :
ö@è% ÎoTÎ) 4n?tã 7puZÉit/ `ÏiB În1§ OçFö/¤Ÿ2ur ¾ÏmÎ/ 4 $tB ÏZÏã $tB šcqè=ÉÚ÷ètGó¡n@ ÿ¾ÏmÎ/ 4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! ( Èà)tƒ ¨,ysø9$# ( uqèdur çŽöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$# ÇÎÐÈ    
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".(al-An’am:57).

Tetapi, sebagaimana yang telah disebutkan diatas “Kedaulatan Tuhan dalam sistem kepemimpinan Islam” tidaklah sama dengan teori Theokrasi yang dikenal didunia sekuler. Walaupun teori itu mengatakan bahwa raja yang memerintah itu adalah berkat karunia Tuhan, tetapi bagaimana mempergunakan kekuasaan yang katanya diterima dari Tuhan, tidak ada penjelasan selanjutnya. Dengan kata lain tidak ada ketentuan-ketentuan yang bisa dipedomani dalam mengatur kekuasaan raja itu yang berasal dari Tuhan. Beda halnya dengan pengertian “Kedaulatan Tuhan” menurut Islam. Kekuasaan yang diberikan pada para penguasa itu ditentukan cara penggunaannya dan dibatasi dengan peraturan-peraturan yang diberikan Tuhan jelas dan gamblang. Bahkan dalam penerapannya harus mengikuti pola yang pernah dilakukan oleh Rasul-Nya yaitu Muhammad SAW, sebagaimana firmannya yang berbunyi :
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ žwÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøŒÎ*Î/ «!$# 4 öqs9ur öNßg¯Rr& ŒÎ) (#þqßJn=¤ß öNßg|¡àÿRr& x8râä!$y_ (#rãxÿøótGó$$sù ©!$# txÿøótGó$#ur ÞOßgs9 ãAqߧ9$# (#rßy`uqs9 ©!$# $\/#§qs? $VJŠÏm§ ÇÏÍÈ  
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS, An Nisa: 64)

C.       Hak Mengangkat Pemimpin ditangan Umat
Umat memiliki hak untuk mengangkat pemimpin atau khalifah. Dan dari tangan merekalah khalifah memperoleh kekuasaannya. Hal itu terjadi Ketika Rasulullah meninggal dunia, para sahabat Rasulullah saw. tidak segera mengebumikan jenazah beliau. Pada saat itu, mereka malah bermusyawarah untuk membicarakan siapa yang akan menggantikan Rasulullah. Padahal sebagaimana telah diketahui, menyegerakan penguburan jenazah adalah salah suatu keharusan dan bahkan haram melakukan aktivitas lain, sementara jenazah yang ada belum dikuburkan, apalagi itu adalah jenazah yang mulia Rasulullah saw. Namun, para sahabat saat itu justru mendahulukan pemilihan dan pengangkatan khalifah (pengganti) Rasul. Setelah khalifah yang akan memimpin kaum muslimin terpilih, para sahabat baru kemudian menguburkan jenazah Rasulullah saw.[4]
Hal ini juga telah menjadi ijma’ bahwa hukum mendirikan kepemimpinan atau khilafah islam adalah fardu kifayah bagi semua kaum muslimin. Juga dikuatkan oleh hadis Rasulullah tentang wajibnya membaiat seorang khalifah :
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, niscaya ia akan menemui Allah kelak pada Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sementara tidak ada baiat di pundaknya, maka ia mati seperti kematian jahiliah. (HR. Muslim)[5]
Dalam buku Fiqh Islam Bab XV tentang al-Khilafah juga dikatakan bahwa, yang berhak mengangkat Khalifah-Khalifah ialah rakyat. Maka yang berhak memberhentikannya juga rakyat. Razi berkata, “Pimpinan umum itu hak rakyat, maka rakyat berhak memberhentikan khalifah jika dipandang perlu.” Apakah maksud Razi dengan kata “pemimpin”? hal ini menjadi pertanyaan. Kalau pimpinan itu hak rakyat, siapakah yang dipimpin? Pertanyaan ini dijawab oleh sa’at, bahwa yang dimaksud Razi dengan rakyat ialah ahlu halli wal ‘aqdi.
Firman Allah swt. :
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ  
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”(asy-Syuura:38)

Dalam hadis pun ada juga yang maksudnya sama dengan ayat tersebut.
Setelah selesai pengakatan khalifah pertama (Abu Bakar), beliau berpidato ditengah-tengah rakyat, antara lain beliau berkata, “Sesungguhnya saya telah diangkat memegang pucuk pimpinan, sedangkan saya tidak lebih dari saudara-saudara. Maka apabila saya jalankan pimpinan itu dengan baik, tolonglah saya. Tetapi apabila saya salah, hendaklah saudara-saudara betulkan.” Begitu juga pidato khalifah kedua dan ketiga pada waktu mereka menerima pengangkatannya.[6]

D.      Batas Ketaatan Kepada Pemimpin
Menaati seorang pemimpin adalah suatu kewajiban. Namun ia akan menjadi haram apabila ketaatan terhadap pemimpin tersebut berupa perintah untuk kemaksiatan.
Allah swt berfirman :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An-Nisa’:59).
Allah swt memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menaati Dia, Rasul-Nya, dan setiap pemimpin diantara kaum muslimin. Namun ketaatan itu hanya berlaku bagi pemimpin yang menjalankan aturan Allah, karena jika kaum muslimin berlainan pendapat dalam suatu perkara, maka perkara tersebut dikembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya(Sunnah/Hadis).
Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu hadis yang diriwatkan oleh imam bukhori,yang artinya:
“Dari Abu Hurairah; Dan dengan sanad diatas, Beliau shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda: "Barang siapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku berarti dia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia telah taat kepadaku dan barang siapa yang bermaksiat kepada pemimpin berarti dia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya imam (pemimpin) adalah laksana benteng, dimana orang-orang akan berperang mengikutinya dan berlindung dengannya. Maka jika dia memerintah dengan berlandaskan taqwa kepada Allah dan keadilan, maka dia akan mendapatkan pahala. Namun jika dia berkata sebaliknya maka dia akan menanggung dosa.[7]
Adapun hadis yang menyatakan agar orang-orang yang beriman tidak menaati pemimpin dalam hal kemaksiatan yang periwatannya dari jalur yang sama, yang artinya:
'Ali radliallahu 'anhu mengatakan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus sebuah ekspedisi dan mengangkat sahabat anshar sebagai pemimpin mereka, dan beliau perintahkan mereka untuk menaatinya. Selanjutnya sahabat anshar marah dan mengatakan; "Bukankah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam telah memerintahkan kaian untuk mentaatiku?" 'Ya' Jawab mereka. Sahabat anshar meneruskan; "Karena itu, aku ingin jika kalian mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api, kemudian kalian masuk kedalamnya." Mereka pun mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api. Tatkala mereka ingin memasukinya, satu sama lain saling memandang. Sebagian mengatakan; 'bukankah kita ikut Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk menjauhkan diri dari api, apakah (sekarang) kita ingin memasukinya? ' Tatkala mereka dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba api padam dan kemarahannya mereda. Maka hal ini disampaikan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lantas Nabi mengatakan; "Kalaulah mereka memasukinya, niscaya mereka tidak bisa keluar dari api tersebut selama-lamanya".[8]
Oleh karena itu, jelaslah bagi orang-orang yang beriman dalam menaati ulil amri diantara mereka. Jika hal tersebut adalah perintah dalam melaksanakan kewajiban pada Allah, maka wajib ditaati. Namun jika sebaliknya, maka seorang muslim haram untuk mengikuti apa yang diperintahkan kepadanya.

E.       Tujuan Kepemimpinan/Khilafah Islam
Tujuan disyariatkannya khilafah (Pemerintahan Islam) sebagai berikut.
a.       Melanjutkan kepemimpinan dalam islam setelah wafatnya Rasulullah saw
b.      Memelihara dan menjaga agama islam dan menegakkan aturan-aturannya dalam mengatur urusan dunia.
c.       Menegakkan keadilan dalam kehidupan umat manusia dan memberantas kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan.
d.      Memelihara keamanan dan ketahanan agama dan negara
e.       Menciptakan kesejahteraan umum bagi seluruh makhluk allah khususnya umat manusia, baik muslim ataupun non muslim.
f.       Mengupayakan kesejahteraan lahir bathin dalam rangka memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.[9]
g.      Menjaga jiwa, nasab, martabat, akal dan harta.

F.       Khilafah di Mata Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Kewajiban menegakkan imamah atau khilafah dinyatakan oleh ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang memiliki kredibilitas ilmu. Berikut ini pendapat ulama empat mazhab dan mazhab zahiri tentang kewajiban menegakkan khilafah islamiyah atau imamah.
Imam Al Qurthubi, seorang ulama dari madzhab Maliki menyatakan:
Ayat ini adalah dalil asal tentang wajibnya mengangkat seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengannya kalimat (persatuan umat) disatukan, dan dengannya dilaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik dikalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan oleh al-asham dimana dia telah tuli dari syariat.
Imam Zakaria an Nawawiy, ulama pilihan dari madzhab Asy-Syafi’iy mengatakan:
“Para ulama sepakat bahwa sesungguhnya wajib atas kaum muslim mengangkat seorang khalifah. Dan kewajibannya (mengangkat seorang khalifah) ditetapkan berdasarkan syariat, bukan berdasarkan akal. Adapun apa yang diriwayatkan dari Al-Asham bahwa ia berkata, ”tidak wajib”, dan selain Asham yang menyatakan mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal bukan berdasarkan syariat, maka dua pendapat ini bathil”.
Imam ‘Alauddin al-Kasaniy, seorang ulama besar dari madzhab Hanafiy menyatakan:
“Sebab, mengangkat seorang imamul a’dzam (imam agung) adalah fardhu, tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Tidak bernilai sama sekali penyelisihan sebagian kelompok Qodariyyah--, dikarenakan ada ijma’ sahabat ra atas kewajiban itu. Juga dikarenakan adanya kebutuhan terhadap khalifah; agar bisa terikat dengan hukum-hukum syariat (syariat); membela orang yang didzalimi dari orang yang dzalim; memutus perselisihan yang menjadi sebab kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang imam.
Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hanbaliy, seorang ulama madzhab Hanbaliy menyatakan:
“ayat ini (al Baqoroh:30) adalah dalil yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, yang dengannya disatukan kalimat (persatuan umat), dan dilaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban itu antara para ulama kecuali yang diriwayatkan dari al Asham dan pengikutnya.
Imam Abu Muhammad Ali Bin Hazm Al Andalusi Adz Dzahiri mendokumentasikan ijma’ ulama’ mengenai kefardhuan menegakkan khilafah atau imamah:
“Mereka (Para Ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An Najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma’ dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka (Para Ulama’) sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu diseluruh dunia adanya dua imam bagi kaum muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat.[10]
Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan atau sistem kekuasaan yang harus diperjuangkan dan ditegakkan oleh umat islam adalah khilafah islamiyah, bukan yang lain.

G.      Khilafah Di Mata Dunia Internasional
Ada banyak tanggapan yang disampaikan oleh para pemikir barat tentang kepemimpinan atau khilafah islam, yakni sebagai berikut :
1.        Peradaban dan Ideologi Islam disebut-sebut oleh mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, di hadapan Kongres Partai Buruh sebagai Ideologi Iblis. Perdana Menteri Toni Blair mengatakan ”Islam merupakan Ideologi Iblis/jahat [evil ideologi] dengan ciri:
a)    Ingin mengeliminasi Israel
b)   Menjadikan Syariat Islam sebagai sumber hukum
c)    Menegakkan Khilafah
d)   Bertentangan dengan nilai-nilai liberal.[BBC News, 16 Juli 2005].
2.        Direktur The International Security and Energy Program Nixon Center yaitu Zeyno Baran, mengatakan: Hingga beberapa tahun yang lalu, sebagian besar kelompok Islam menganggap upaya penegakkan Khilafah yang baru adalah tujuan yang utopis. Sekarang semakin banyak orang yang mempertimbangkan pendirian kembali Khilafah sebagai tujuan yang serius
3.        News BBC memberitakan: In Solving all the problems of the current world today, muslim in muslim countries agree to reestablish/restore Islamic State [Daulah Khilafah Islam] Dalam menyelesaikan semua permasalahan yang dialami oleh dunia sekarang, kaum muslim di negeri-negeri muslim setuju untuk menegakkan kembali Negara Islam (Daulah Khilafah Islam). [BBC News, 25/4/2007].
4.        Charles Hill, Kepala Staff Departemen Luar Negeri di Era pemerintahan AS Reagen, menyuarakan: Negara-negara di kawasan itu [Timur Tengah] terancam bahaya oleh tata pemerintahan [bad governance] yang buruk dan Ideologi Islam yang akan menghapuskan negara-negara dan membangun kembali Khilafah.
5.        Dalam pidatonya di Herritage Foundation tanggal 6 Oktober 2005, Menteri Dalam Negeri Inggris Charles Clarke mengatakan: Tidak [mungkin] ada tawar menawar [kompromi] tentang perjuangan Pendirian kembali Khilafah dan tidak ada ruang diskusi tentang penerapan hukum-hukum Syariat Islam.
6.        Bukan hanya itu, bahkan Perdana Menteri Inggris, ketika memberikan sambutan pada Kongres Tahunan Partai Buruh, tanggal 16/7/2005 M, seputar Ledakan London, tanggal 7/7/2005 M, telah menjadikan Khilafah sebagai pusat perhatian, dan bukannya Ledakan itu sendiri. Dia sampai mengatakan: Kita akan memerangi gerakan yang berusaha melenyapkan negara Israel, mengeluarkan Barat dari Dunia Islam, dan mendirikan satu Negara Khilafah Islam, yang akan menerapkan Syariat Islam di dunia Islam dengan cara mendirikan Khilafah untuk seluruh umat Islam.
7.        David Brooks menulis di New York Times: Di atas segalanya, kita perlu melihat bahwa realitas sudah berubah. Di masa lalu, kita memerangi gerakan ideologis yang mengendalikan negara. Kebijakan luar negeri kita diarahkan pada hubungan dengan negara-negara itu, bernegosiasi dengan negara, berkonfrontasi dengan negara. Kini kita dihadapkan pada suatu sistem keyakinan yang bertentangan dengan sistem negara dan kembalinya Khilafah. Kita akan membutuhkan seperangkat institusi baru untuk menghadapi realitas baru ini, dan pelatihan baru untuk memahami orang-orang yang tidak tertarik dengan kepentingan nasional, menurut pengertian tradisional. Pekan lalu Saya bertemu dengan seorang pejabat militer yang bertugas di Afganistan dan Irak, yang observasinya pas sekali dengan ketua komisi 911. Ia mengatakan bahwa apa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini sudah salah arah, mulai sekarang hanya 10% dari upaya kita yang bersifat militer, sisanya ideologis. Ia mengamati bahwa kita berada dalam perang melawan ekstrimisme Islam, seperti kita pernah berperang melawan komunisme di tahun 1880.
8.        Dalam pidatonya kepada publik di sebuah diskusi di Virginia 28 Oktober 2005, Presiden Amerika Serikat George Walker Bush, menegaskan: “Para pejuang militan itu meyakini bahwa kalau mereka menguasai satu negeri, mereka akan memimpin seluruh bangsa Islam dan akan mengakibatkan kaum Militan mampu mendongkel kekuasaan seluruh pemerintahan moderat di kawasan tersebut dan tak lama kemudian mereka akan mendirikan Imperium Islam radikal yang terbentang dari Spanyol hingga Indonesia.
9.        Pada Konferensi Keamanan ke 42 yang berlangsung di Munich, menteri pertahanan Amerika Serikat, Donald Rumsfeld menjelaskan: Mereka mencoba mengambil alih pemerintahan dari Afrika Utara hingga ke Asia Tenggara dan menegakkan kembali Khilafah yang mereka inginkan dan hal ini pada suatu hari nanti akan meliputi setiap benua, Ujarnya. Mereka telah membuat dan menyebarkan peta yang menghapuskan batas-batas negara dan menggantinya dengan suatu imperium dunia.[Sunday Times, 6/02/2006].
10.    Pernyataan yang sama dilontarkan oleh Tony Blair saat merespon pemboman di London. Kala itu Blair menyatakan dengan emosi: Mereka memiliki jaringan di setiap negara dan ribuan kawan yang terus bepergian. Mereka memiliki support dana yang baik. Lihatlah website mereka. Mereka memiliki propaganda yang canggih. Mereka merekrut siapapun dengan cara apapun dengan mudah. Mereka memiliki tuntutan…. ini disebabkan ideologi agama mereka… Mereka melakukan apa yang diperintahkan Tuhan mereka, mereka akan mendapat surga. Mereka menuntut pembubaran Israel, penarikan Barat dari negeri-negeri Islam, mengabaikan harapan masyarakat dan pemerintah, mendirikan negara Taliban dan hukum Syariah di Dunia Arab menuju Satu Kekhilafahan untuk semua kaum Muslim.
11.    Wakil Presiden Amerika Serikat di bulan Februari 2007 dalam kunjungan ke Australia pasca Konferensei Internasional Khilafah Islamiyyah di Australia pada bulan yang sama mengatakan: Tegaknya Khilafah sudah tidak bisa dibendung lagi.
12.    Menteri Pertahanan Amerika Serikat Donald Rumsfle pun pernah mengatakan: Jika tentara Amerika Serikat keluar dari Irak segera, Irak akan menjadi surga bagi militan dan menjadi basis penyebaran Negara Adidaya Islam yang akan mengancam dunia… Irak akan menjadi basis Negara Khilafah yang baru, yang akan meluas ke Timur Tengah. [Washingtonpost.com, 5/12/2005].
13.    Dalam kesempatan yang lain, tanggal 5 Desember 2005, Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dalam komentarnya tentang masa depan Irak di Universitas John Hopkins, juga menyatakan: Irak akan menjadi pondasi Khilafah Islam yang baru yang akan membentang ke seluruh Timur Tengah dan akan mengancam pemerintahan yang sah di Eropa, Afrika dan Asia. Inilah rancangan mereka. Mereka [gerakan Islam fundamentalis] telah menyatakan hal itu. Kita akan melakukan kesalahan mengerikan jika kita gagal mendengar dan belajar.
14.    Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council [NIC] merilis sebuah laporan yang berjudul “Mapping Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020, diantaranya: A New Chaliphate: Berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat.
15.    Dan akhirnya, Pusat Studi Kerajaan Belanda di awal tahun 2007 merekomendasikan kepada Kerajaan Belanda: Tegaknya Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Kerajaan Belanda harus menerima kenyataan bahwa Khilafah akan segera tegak kembali. Kerajaan Belanda harus mulai menyusun kebijakan-kebijakan yang akan diambil ketika Khilafah tegak nanti. Wallahu A’lam bish-Showwab.[11]

H.      Kepemimpinan Khilafah yang di Janjikan
Allah swt telah menjanjikan kekuasaan kepada umat manusia dengan syarat mereka beriman kepada Allah swt dan mengerjakan amal sholih diantara mereka. Sebagaimana dalam firman-Nya :
ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßg¨ZxÿÎ=øÜtGó¡uŠs9 Îû ÇÚöF{$# $yJŸ2 y#n=÷tGó$# šúïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% £`uZÅj3uKãs9ur öNçlm; ãNåks]ƒÏŠ Ï%©!$# 4Ó|Ós?ö$# öNçlm; Nåk¨]s9Ïdt7ãŠs9ur .`ÏiB Ï÷èt/ öNÎgÏùöqyz $YZøBr& 4 ÓÍ_tRrßç6÷ètƒ Ÿw šcqä.ÎŽô³ç Î1 $\«øx© 4 `tBur txÿŸ2 y÷èt/ y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÎÎÈ  
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(an-Nur : 55).
Juga sebagaimana yang tercantum dalam hadist Rasulullah saw. Ia berkata :
“Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan ‘Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430. Hadits ini dinilai hasan oleh Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8; dinilai hasan pula oleh Syaikh Syu’aib Al Arna’uth, dalam Musnad Ahmad bi Hukm Al Arna’uth, Juz 4 no hadits 18.430; dan dinilai shahih oleh Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Mahajjah Al Qurab fi Mahabbah Al ‘Arab, 2/17).


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Pemimpin berasal dari kata ro’a – yar’i – ri’a~yatan yang berarti ha~fadzon (penjaga, pengawas). Didalam islam, pemimpin juga disebut Khalifah yang artinya wakil, pengganti atau duta. Sedangkan secara istilah Khalifah adalah orang yang bertugas menegakkan syariat Allah SWT , memimpin kaum muslimin untuk menyempurnakan penyebaran syariat Islam dan memberlakukannya kepada seluruh kaum muslimin secara wajib, sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW.
Kepemimpinan islam disebut khilafah atau dapat pula berarti suatu pemerintahan atau kekuasaan (daulah). Kata khilafah juga merupakan sinonim dari kata imamah. Kata imamah (imam) berarti orang yang mengurus pemerintahan. Kepemimpinan khilafah berbeda dengan sistem kerajaan (mulk, mamlakah). Pemerintahan kerajaan memerintah rakyat sesuai kemauan raja, sementara khilafah memerintah rakyat sesuai dengan pandangan syara’. Jadi, khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin diseluruh dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah islam dan sekaligus mengemban dakwah islam keseluruh penjuru dunia.  
Sedangkan kepemimpinan secara umum adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi perilaku seseorang, sehingga apa yang menjadi ajakan dan seruan pemimpin dapat dilaksanakan orang lain guna mencapai tujuan yang menjadi kesepakan antara pemimpin dengan rakyatnya.
2.    Islam dalam mengatur sistem kepemimpinannya hanya mengenal “kedaulatan Tuhan” sebagai kedaulatan tertinggi dalam negara.
3.    Umat memiliki hak untuk mengangkat pemimpin atau khalifah. Dan dari tangan merekalah khalifah memperoleh kekuasaannya.
4.    Menaati seorang pemimpin adalah suatu kewajiban. Namun ia akan menjadi haram apabila ketaatan terhadap pemimpin tersebut berupa perintah untuk kemaksiatan.
5.    Tujuan disyariatkannya khilafah (Pemerintahan Islam) sebagai berikut.
a.    Melanjutkan kepemimpinan dalam islam setelah wafatnya Rasulullah saw
b.    Memelihara dan menjaga agama islam dan menegakkan aturan-aturannya dalam mengatur urusan dunia.
c.    Menegakkan keadilan dalam kehidupan umat manusia dan memberantas kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan.
d.   Memelihara keamanan dan ketahanan agama dan negara
e.    Menciptakan kesejahteraan umum bagi seluruh makhluk allah khususnya umat manusia, baik muslim ataupun non muslim.
f.     Mengupayakan kesejahteraan lahir bathin dalam rangka memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
g.    Menjaga jiwa, nasab, martabat, akal dan harta.
6.    Kewajiban menegakkan imamah atau khilafah dinyatakan oleh ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang memiliki kredibilitas ilmu bahwa menegakkan khilafah adalah wajib.
7.    Tanggapan yang disampaikan oleh para pemikir barat tentang kepemimpinan atau khilafah islam adalah sesuatu yang luar biasa.
8.    Allah swt telah menjanjikan kekuasaan kepada umat manusia dengan syarat mereka beriman kepada Allah swt dan mengerjakan amal sholih diantara mereka.

B.       Saran
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kekurangan atau belum sempurna. Maka kami menerima kritik dan saran dari pembaca, khususnya rekan rekan dan dosen yang bersifat membangun demi pembuatan makalah atau tugas lainnya yang lebih baik untuk yang akan datang. Terima kasih,,,,,,,,,


[1] Siti Quraedah., Hadist Tarbawi (Bahan Ajar), hal. 47
[2] Buku paket Fikih untuk MA kelas XII, (KTSP, 2008) hal. 21
[3] http://kepemimpinandalamislam.blogspot.com
[4] Arief B. Iskandar (ed.). Materi Dasar Islam, Islam mulai Akar hingga Daunnya. (cet.vii), Bogor, Al-Azhar Pres, 2013, Hal 146
[5] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/08/05/hadist-pilihan-kewajiban-mengangkat-kholifah
[6] Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. (cet-40), Bandung, Sinar Baru algesindo, 2007. Hal. 498-499 
[7] HR. Bukhori No. 2737
[8] Ibid, No. 6612
[9] Buku paket Fikih untuk MA kelas XII, (KTSP, 2008) hal. 22
[10]Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, Revolusi Islam, Jalan Terang Menuju Perubahan, (Cet.1), Bogor, Al-Azhar Pres, 2011. Hal. 20-24
[11] http://myquran.or.id/forum/archive/index.php/t-51131.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar