"Tidak akan beruntung suatu kaum jika dipimpin oleh seorang wanita"
“Mengapa Nabi bersabda demikian ?” (Khalid Abou El Fadl)
Jawab:
Pertama,
Muhammad saw. adalah Rasul Allah. Tidak ada sesuatu apa pun yang ia lakukan
semenjak beliau menjadi Rasul, ia berbuat berdasarkan keinginan pribadinya. Tapi semua
itu karena tuntunan wahyu yang diberikan kepadanya untuk memberikan contoh kepada
umat manusia terkait perbuatan yang harus diikuti dan dijadikan pedoman oleh
mereka. Dan tuntunan yang dicontohkan, dikatakan, dan ditetapkan oleh Rasul
tersebut adalah system aturan yang diwahyukan kepadanya.
Lihat al-an’am: 3-4. Dan al-Ahzab:21.
Rasul telah mengatakan, bahwa:
“Tidak
akan beruntung suatu kaum jika dipimpin oleh seorang wanita.”
Khalid Abu Fadhel kemudian bertanya, “Mengapa Nabi bersabda demikian ?” Mari kita fokus pada
pertanyaan ini terlebih dahulu.
Untuk menjawab
pertanyaan di atas, menurut saya, perlu kiranya kita mengetahui asbabul wurud (penyebab
turun)nya hadist tersebut. Kurang lebih seperti ini asbabul wurudnya.
Telah sampai
kepada Nabi saw. bahwa kerajaan Persia telah menobatkan putri Kisra sebagai
raja, yang kemudian beliau saw. bersabda:
“Tidak
akan beruntung kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan mereka kepada wanita. (HR
al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ahmad).
Ibn Qutaibah di dalam Al-Maghazi
menyebutkan, putri Kisra itu adalah Buran binti Sirawaih bin Kisra bin Birwiz.
Ketika Sirawaih mati, ia tidak meninggalkan anak laki-laki dan saudara
laki-laki, maka putrinya pun diangkat jadi raja.
Itulah kurang lebih asbabul wurud hadis
di atas.
Dari penyebab turunnya hadis tersebut, maka kita sudah bisa memperoleh
jawaban bahwa karena adanya berita yang telah sampai kepada Rasul itulah
kemudian Rasul menyampaikan hadist itu.
Nach, di sini perlu difahami, bahwa Rasul
dalam menghukumi suatu perbuatan tidaklah asal menyampaikan atau karena
berdasarkan akal-akalan beliau semata. Akan tetapi beliau dalam menentukan
segala sesuatu yang beliau hukumi sebagai “salah” atau “haram”, maka tiada lain
hal itu adalah karena berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya.
Sebagaimana beliau dalam melihat sebuah
kondisi social masyarakat yang suka mengubur hidup-hidup anak kandung wanita
mereka. Hal itu kemudian beliau haramkan dan melarang masyarakat agar berhenti
melakukannya. Dan mereka tidak harus malu untuk memiliki seorang anak yang
berjenis kelamin wanita. akan tetapi mereka harus berbangga dan bersyukur
memiliki anak berjenis kelamin wanita. Rasul pun kemudian menyampaikan wahyu
yang telah diturunkan kepadanya tentang kemuliaan sebuah keluarga yang memiliki
anak yang berjenis kelamin wanita dan hadist-hadist yang terkait dengan
kemuliaan seorang wanita.
Sebelum wahyu itu diturunkan kepadanya,
Rasul tidak pernah sekalipun menghukumi atau menyampaikan terkait dengan
ketidakbolehan atau larangan terhadap masyarakat yang membunuh hidup-hidup anak
kandung mereka yang bergender wanita. dan itu memberi qorinah (indikasi) bahwa
Rasul memang tidak pernah menghukumi suatu perbuatan kecuali karena wahyu yang
telah diwahyukan kepadanya.
Kedua,
ini yang menurut saya juga penting untuk diketahui dan diingat, bahwa Allah SWT.
dalam menurunkan wahyu yang Dia berikan kepada Nabi Muhammad saw. adalah sama
sekali tidak mempertimbangkan kondisi geografis, suku, kebangsaan, dan etnis
suatu kelompok masyarakat. Akan tetapi wahyu yang diturunkan tersebut adalah
terkait dengan permasalahan social yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
dalam kapisitas mereka sebagai manusia. Sebab jika Allah SWT. membuat aturan
atau menurunkan wahyu terkait suatu hukum kepada sebuah kelompok masyarakat
karena mempertimbangkan kondisi etnis, suku, kebangsaan, dan kondisi geografis
mereka. Maka bisa dikatakan bahwa al-Qur’an dan ribuan Hadist yang selama ini kita
pelajari tidak perlu diterapkan oleh masyarakat di Negeri ini. Kita tidak perlu
shalat, kita tidak perlu puasa, kita tidak perlu haji, zakat, menikah, dan
sebagainya. Karena ayat-ayat terkait dengan perbuatan-perbuatan tersebut
diturunkan hanya untuk suku, etnis, kondisi geografis dan bangsa Quraisy di
masa lalu. Atau hanya berlaku untuk orang Arab dalam hal ini orang-orang Mekkah
dan Madinah. Shalat, puasa, Zakat, dan Haji adalah budaya Arab, maka tidak
perlu kita melaksanakan semua itu. Karena bangsa ini, suku-suku di negeri ini,
etnis, dan letak geografis negeri ini, sama sekali tidak mengenal budaya-budaya
tersebut. Budaya itu adalah mutlak budaya Arab karena ia berasal dari Arab.
Kembali kepada hadist tentang keharaman
wanita dalam menjadi seorang penguasa. Hadis tersebut sama sekali tidak ada
yang mengindikasikan bahwa Rasul menyampaikannya karena ada tendensi apa pun,
baik itu berupa tendensi suku, etnis, bangsa, maupun karena letak geografis. Atau
karena tendensi ketidakmampuan, ketidakcakapan, kredibilatas, dan sebagainya. Sebab
tidak ada satu pun riwayat yang mengatakan bahwa Rasul menyampaikan hadist di
atas, karena ia melihat bahwa wanita yang diangkat oleh Persia sebagai Pemimpin
tersebut tidak memiliki kecakapan, kemampuan, atau kredibilitas dalam memimpin.
Akan tetapi, hanya memberi pemahaman bahwa Rasul menyampaikan hadist tersebut
karena wahyu yang diturunkan kepadanya, dalam hal ini wanita dilarang oleh
Allah SWT. Untuk menjadi penguasa. Dan hal ini juga bisa dibuktikan bahwa Rasul
tidak pernah sama sekali mengetahui seluk beluk wanita yang diangkat oleh Persia
tersebut sebagai pemimpin. Apakah wanita itu kredibel dan mampu atau tidak, hal
itu sama sekali tidak diketahui oleh Rasulullah saw. Mengapa ? karena memang
beliau tidak pernah bertemu secara langsung apalagi mengetahui tentang
kecakapan seorang wanita tersebut.
Dan hal ini sekali lagi saya ingin
mengatakan bahwa Rasul hanya menyampaikan dan menghukumi bahwa “Tidak akan beruntung suatu kaum apabila
dipimpin oleh seorang wanita.” perintah shalat, puasa, zakat, haji,
menikah, dan sebagainya. Semua itu diperintahkan dan diwajibkan oleh Rasul sama
sekali tidak ada tendensi etnis, suku, kebangsaan, dan kondisi geografis
tertentu. Akan tetapi semuu itu adalah murni karena wahyu yang diturunkan
kepadanya.
Oleh karena itu, sekalipun suatu
kelompok masyarakat berbeda dalam skala etnis, suku, kebangsaan, dan kondisi geografisnya
dengan masyarakat di masa Rasul. Maka selama
mereka masih disebut manusia dan memiliki permasalahan yang sama, maka hukum-hukum
atau aturan yang telah diwajibkan dan diberlakukan oleh Rasul di masa Quraisy
Arab, tetap relevan dan wajib diterapkan kepada masyarakat kontemporer saat
ini.
Karena sesungguhnya apa yang dilarang dan
diperintahkan oleh Rasul tersebut, juga berlaku untuk manusia zaman ini.
“Sesungguhnya, telah ada pada diri
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu..” (Al-Ahzab: 21)
Ikutilah Muhammad saw. Karena,
Allah berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. (An-Najm: 3)
Ibnu Katsir, dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, ia mengatakan, yakni apa yang
diucapkannya itu bukanlah keluar dari hawa nafsunya dan bukan pula karena dilatarbelakangi
tujuan. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(An-Najm: 4), Yaitu sesungguhnya yang diucapkannya itu hanyalah semata-mata
berdasarkan wahyu yang diperintahkan kepadanya untuk ia sampaikan kepada
manusia dengan sempurna dan apa adanya tanpa penambahan atau pengurangan.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ubaidillah ibnul Akhnas, telah
menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Abdullah, dari Yusuf ibnu Mahik, dari
Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa ia mencatat semua yang pernah ia dengar
dari Rasulullah Saw. dengan maksud untuk menghafalkannya. Kemudian orang-orang
Quraisy melarangku berbuat demikian. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya kamu
mencatat semua yang kamu dengar dari Rasulullah Saw., padahal Rasulullah Saw.
adalah seorang manusia yang juga berbicara di saat emosinya." Maka aku
menahan diri dari menulis, kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah
Saw. Beliau Saw. bersabda: Teruskanlah tulisanmu, maka demi Tuhan yang jiwaku
berada di dalam genggaman-Nya, tiadalah yang keluar dari lisanku melainkan
hanya hak (benar) belaka.
Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini
melalui Musaddad dan Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, keduanya dari Yahya ibnu Sa'id
Al-Qattan dengan sanad yang sama.
Wallahu a’lam….
Batu, 30 Oktober 2016, Pkl 00:10 Wib
Salam el-Fath