Sabtu, 29 Oktober 2016

MENJAWAB PERTANYAAN "KHALID ABOU EL FADL"



"Tidak akan beruntung suatu kaum jika dipimpin oleh seorang wanita"
 Mengapa Nabi bersabda demikian ?” (Khalid Abou El Fadl)

Jawab:
Pertama, Muhammad saw. adalah Rasul Allah. Tidak ada sesuatu apa pun yang ia lakukan semenjak beliau menjadi Rasul, ia berbuat berdasarkan keinginan pribadinya. Tapi semua itu karena tuntunan wahyu yang diberikan kepadanya untuk memberikan contoh kepada umat manusia terkait perbuatan yang harus diikuti dan dijadikan pedoman oleh mereka. Dan tuntunan yang dicontohkan, dikatakan, dan ditetapkan oleh Rasul tersebut adalah system aturan yang diwahyukan kepadanya.
Lihat al-an’am: 3-4. Dan al-Ahzab:21.
Rasul telah mengatakan, bahwa:
“Tidak akan beruntung suatu kaum jika dipimpin oleh seorang wanita.”
Khalid Abu Fadhel kemudian bertanya, “Mengapa Nabi bersabda demikian ?” Mari kita fokus pada pertanyaan ini terlebih dahulu.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, menurut saya, perlu kiranya kita mengetahui asbabul wurud (penyebab turun)nya hadist tersebut. Kurang lebih seperti ini asbabul wurudnya.
Telah sampai kepada Nabi saw. bahwa kerajaan Persia telah menobatkan putri Kisra sebagai raja, yang kemudian beliau saw. bersabda:
Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan mereka kepada wanita. (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ahmad).
Ibn Qutaibah di dalam Al-Maghazi menyebutkan, putri Kisra itu adalah Buran binti Sirawaih bin Kisra bin Birwiz. Ketika Sirawaih mati, ia tidak meninggalkan anak laki-laki dan saudara laki-laki, maka putrinya pun diangkat jadi raja.
Itulah kurang lebih asbabul wurud hadis di atas.
Dari penyebab turunnya hadis tersebut, maka kita sudah bisa memperoleh jawaban bahwa karena adanya berita yang telah sampai kepada Rasul itulah kemudian Rasul menyampaikan hadist itu.
Nach, di sini perlu difahami, bahwa Rasul dalam menghukumi suatu perbuatan tidaklah asal menyampaikan atau karena berdasarkan akal-akalan beliau semata. Akan tetapi beliau dalam menentukan segala sesuatu yang beliau hukumi sebagai “salah” atau “haram”, maka tiada lain hal itu adalah karena berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya.
Sebagaimana beliau dalam melihat sebuah kondisi social masyarakat yang suka mengubur hidup-hidup anak kandung wanita mereka. Hal itu kemudian beliau haramkan dan melarang masyarakat agar berhenti melakukannya. Dan mereka tidak harus malu untuk memiliki seorang anak yang berjenis kelamin wanita. akan tetapi mereka harus berbangga dan bersyukur memiliki anak berjenis kelamin wanita. Rasul pun kemudian menyampaikan wahyu yang telah diturunkan kepadanya tentang kemuliaan sebuah keluarga yang memiliki anak yang berjenis kelamin wanita dan hadist-hadist yang terkait dengan kemuliaan seorang wanita.
Sebelum wahyu itu diturunkan kepadanya, Rasul tidak pernah sekalipun menghukumi atau menyampaikan terkait dengan ketidakbolehan atau larangan terhadap masyarakat yang membunuh hidup-hidup anak kandung mereka yang bergender wanita. dan itu memberi qorinah (indikasi) bahwa Rasul memang tidak pernah menghukumi suatu perbuatan kecuali karena wahyu yang telah diwahyukan kepadanya.
Kedua, ini yang menurut saya juga penting untuk diketahui dan diingat, bahwa Allah SWT. dalam menurunkan wahyu yang Dia berikan kepada Nabi Muhammad saw. adalah sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi geografis, suku, kebangsaan, dan etnis suatu kelompok masyarakat. Akan tetapi wahyu yang diturunkan tersebut adalah terkait dengan permasalahan social yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dalam kapisitas mereka sebagai manusia. Sebab jika Allah SWT. membuat aturan atau menurunkan wahyu terkait suatu hukum kepada sebuah kelompok masyarakat karena mempertimbangkan kondisi etnis, suku, kebangsaan, dan kondisi geografis mereka. Maka bisa dikatakan bahwa al-Qur’an dan ribuan Hadist yang selama ini kita pelajari tidak perlu diterapkan oleh masyarakat di Negeri ini. Kita tidak perlu shalat, kita tidak perlu puasa, kita tidak perlu haji, zakat, menikah, dan sebagainya. Karena ayat-ayat terkait dengan perbuatan-perbuatan tersebut diturunkan hanya untuk suku, etnis, kondisi geografis dan bangsa Quraisy di masa lalu. Atau hanya berlaku untuk orang Arab dalam hal ini orang-orang Mekkah dan Madinah. Shalat, puasa, Zakat, dan Haji adalah budaya Arab, maka tidak perlu kita melaksanakan semua itu. Karena bangsa ini, suku-suku di negeri ini, etnis, dan letak geografis negeri ini, sama sekali tidak mengenal budaya-budaya tersebut. Budaya itu adalah mutlak budaya Arab karena ia berasal dari Arab.
Kembali kepada hadist tentang keharaman wanita dalam menjadi seorang penguasa. Hadis tersebut sama sekali tidak ada yang mengindikasikan bahwa Rasul menyampaikannya karena ada tendensi apa pun, baik itu berupa tendensi suku, etnis, bangsa, maupun karena letak geografis. Atau karena tendensi ketidakmampuan, ketidakcakapan, kredibilatas, dan sebagainya. Sebab tidak ada satu pun riwayat yang mengatakan bahwa Rasul menyampaikan hadist di atas, karena ia melihat bahwa wanita yang diangkat oleh Persia sebagai Pemimpin tersebut tidak memiliki kecakapan, kemampuan, atau kredibilitas dalam memimpin. Akan tetapi, hanya memberi pemahaman bahwa Rasul menyampaikan hadist tersebut karena wahyu yang diturunkan kepadanya, dalam hal ini wanita dilarang oleh Allah SWT. Untuk menjadi penguasa. Dan hal ini juga bisa dibuktikan bahwa Rasul tidak pernah sama sekali mengetahui seluk beluk wanita yang diangkat oleh Persia tersebut sebagai pemimpin. Apakah wanita itu kredibel dan mampu atau tidak, hal itu sama sekali tidak diketahui oleh Rasulullah saw. Mengapa ? karena memang beliau tidak pernah bertemu secara langsung apalagi mengetahui tentang kecakapan seorang wanita tersebut.
Dan hal ini sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa Rasul hanya menyampaikan dan menghukumi bahwa “Tidak akan beruntung suatu kaum apabila dipimpin oleh seorang wanita.” perintah shalat, puasa, zakat, haji, menikah, dan sebagainya. Semua itu diperintahkan dan diwajibkan oleh Rasul sama sekali tidak ada tendensi etnis, suku, kebangsaan, dan kondisi geografis tertentu. Akan tetapi semuu itu adalah murni karena wahyu yang diturunkan kepadanya.
Oleh karena itu, sekalipun suatu kelompok masyarakat berbeda dalam skala etnis, suku, kebangsaan, dan kondisi geografisnya dengan masyarakat di masa Rasul. Maka  selama mereka masih disebut manusia dan memiliki permasalahan yang sama, maka hukum-hukum atau aturan yang telah diwajibkan dan diberlakukan oleh Rasul di masa Quraisy Arab, tetap relevan dan wajib diterapkan kepada masyarakat kontemporer saat ini.
Karena sesungguhnya apa yang dilarang dan diperintahkan oleh Rasul tersebut, juga berlaku untuk manusia zaman ini.
“Sesungguhnya, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu..” (Al-Ahzab: 21)
Ikutilah Muhammad saw. Karena,
Allah berfirman:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. (An-Najm: 3)
Ibnu Katsir, dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, ia mengatakan, yakni apa yang diucapkannya itu bukanlah keluar dari hawa nafsunya dan bukan pula karena dilatarbelakangi tujuan. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (An-Najm: 4), Yaitu sesungguhnya yang diucapkannya itu hanyalah semata-mata berdasarkan wahyu yang diperintahkan kepadanya untuk ia sampaikan kepada manusia dengan sempurna dan apa adanya tanpa penambahan atau pengurangan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ubaidillah ibnul Akhnas, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Abdullah, dari Yusuf ibnu Mahik, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa ia mencatat semua yang pernah ia dengar dari Rasulullah Saw. dengan maksud untuk menghafalkannya. Kemudian orang-orang Quraisy melarangku berbuat demikian. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya kamu mencatat semua yang kamu dengar dari Rasulullah Saw., padahal Rasulullah Saw. adalah seorang manusia yang juga berbicara di saat emosinya." Maka aku menahan diri dari menulis, kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau Saw. bersabda: Teruskanlah tulisanmu, maka demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, tiadalah yang keluar dari lisanku melainkan hanya hak (benar) belaka.
Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini melalui Musaddad dan Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, keduanya dari Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan dengan sanad yang sama.
Wallahu a’lam….

Batu, 30 Oktober 2016, Pkl 00:10 Wib
Salam el-Fath 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar