Sabtu, 22 Oktober 2016

ISLAM, MUSLIM, DAN REALITAS MASA KINI

Kita sangat menyayangkan terhadap apa yang menimpa umat islam di Dunia saat ini. walau di pimpin oleh pemimpin yang juga mengaku muslim, tapi tidak sama sekali memberi arti dalam kehidupan umat islam sendiri. tapi justru menderita yang tiada henti hingga saat ini. Umat islam ini sebenarnya adalah umat yang terbaik, yakni umat yang mampu menjadi panutan dan penyelamat bagi seluruh manusia yang ada di Dunia masa kini.

Akan tetapi, predikat umat terbaik akan benar-benar terealisasi jika umat islam itu memahami ajaran Islam yang kebenarannya telah mereka buktikan dan mereka yakini. Dan memang tidak bisa di pungkiri, bahwa satu-satunya kebenaran di dunia ini hanya ada dalam ajaran Islam. Maka tidak heran, jika banyak yang mengatakan bahwa Islam itu adalah agama yang Rahmatan Lil 'aalamin, yakni memiliki ajaran yang universal. Ke-Universal-an Islam itu pun tidak hanya untuk umat Islam sendiri, tapi juga bisa diberlakukan pada umat-umat yang lain.

Namun Islam tidak akan pernah menjadi Rahmatan Lil 'aalamin jika aturan yang berasal dari sumber kebenaran Islam (al-Qur'an dan as-Sunnah) tidak diterapkan dalam kehidupan umat manusia, baik dari aspek individu maupun pada aspek masyarakat (negara). Karena secara fakta, sumber-sumber tersebut tidak hanya mengatur urusan individu belaka, tetapi lebih banyak mengatur urusan masyarakat dan negara. ada Sistem Ekonomi Islam, Hukum Islam, Sosial, Pendidikan dan lain sebagainya.
Dan jika dilihat dari fakta sejarah, saat Islam masih memimpin peradaban dunia, Islam menjadi Rahmat bagi seluruh warga yang dinaunginya, bahkan masyarakat yang berada di luar kekuasaannya pun ikut menikmati mercusuar peradaban Islam, sebagaimana yang terjadi pada pelajar yang berdatangan dari Eropa untuk belajar di Universitas Cordoba di Andalusia (Spanyol). Mereka banyak yang mengenyam pendidikan di sana, kemudian pulang ke negeri asalnya dalam keadaan tidak seperti masyarakat Eropa pada umumnya. Mereka sudah tidak mempercayai doktrin yang ditancapkan oleh kekaisaran yang bekerjasama dengan pihak gereja yang selama ini telah berbuat semena-mena melakukan penindasan terhadap rakyat yang ada di bawah kekuasaannya. Sehingga dari sikap para Intelektual Eropa yang sudah tercerahkan pemikirannya oleh Islam tersebut melakukan pemberontakan hingga mampu menggulingkan kekuasaan Kaisar dan Gereja di Eropa. Dan kemudian aktivitas pemberontakan itu dikenal hingga saat ini dengan sebutan Masa Renaisanse.

Inilah sedikit pengetahuan mengenai umat Islam pada masa kejayaannya, mereka menjadi Rahmat bagi manusia karena menjadikan aturan Allah sebagai pengatur peradabannya. Tapi saat kekuasaan itu telah sirna yang disebabkan oleh konspirasi Inggris yang bekarjasama dengan Mustafa Kemal Ataturk dalam menggulingkan kekhilafahan Islam di Turki. Selain itu, umat Islam yang juga telah banyak meninggalkan ajaran agamanya karena melihat Sains-Tecknology yang berkembang di Eropa-Barat, menjadikan mereka tanpa berfikir mendalam telah mengadopsi berbagai macam pemikiran dan budaya yang dimasukkan oleh Barat tanpa melihat lagi boleh dan tidaknya dalam pandangan Islam mengenai suatu pemikiran dan budaya dari luar tersebut.

Ditambah pula dengan melihat kondisi umat Islam yang saat ini ada, yakni dengan jumlah kurang lebih 1.6 Milyar di seluruh dunia, akan tetapi walau banyak dari segi kuantitasnya tapi tidak sama sekali memberi pengaruh pada diri mereka apalagi umat selainnya. padahal yang menjadi pemimpin di negerinya adalah dari kalangan mereka, tapi tidak sama sekali berpengaruh pada kaum muslimin yang dinaunginya. Mengapa bisa demikian adanya? Padahal pemimpin dan masyarakat muslim mayoritas di negerinya..? hal ini memberi pemahaman bahwa, walau pemimpin mereka adalah dari kalangan umat Islam sendiri, akan tetapi tidak dapat menghalangi penindasan yang terjadi pada mereka, terutama umat Islam yang terus tertindas secara fisik di Timur Tengah. Dan hal itu diakibatkan oleh mereka sendiri karena meninggalkan agamanya dalam mengatur kehidupan Negara.

Salam el Fath: Dari berbagai sumber.

Prof Dr H Said Aqil Husin al-Munawar MA : Tidak ada lagi yang perlu ditafsirkan dari al-Maidah ayat 51..!!


Auditorium Harun Nasution, BERITA UIN Online–Guru Besar Tafsir-Hadis Fakultas Ushuludin UIN Jakarta Prof Dr H Said Aqil Husin al-Munawar MA menegaskan bahwa tidak ada lagi yang perlu ditafsirkan dari al-Maidah ayat 51. Pasalnya, ayat itu sudah jelas untuk tidak menjadikan non muslim sebagai pemimpin.

Prof Dr Said Aqil Husin al-Munawar menjelaskan tentang tafsir al-Maidah 51 pada Seminar Nasional bertema al-Quran untuk Semua, digelar HIQMA UIN Jakarta di Auditorium Harun Nasution, Kamis (20/10/16)
Hal tersebut disampaikannya saat menjawab pertanyaan salah satu peserta Seminar Nasional bertema al-Qur’an untuk Semua yang diselenggarakan HIQMA UIN Jakarta pada miladnya yang ke-28 di Auditorium Harun Nasution, Kamis (20/10/16).

“Apanya lagi yang mau ditafsirkan? Dua kali (dalam ayat tersebut) dikatakan dengan “laa”. Laa tidak ada ta’wil yang lain. Itu laa nahyi yufiidut tahrim, yang berarti tidak boleh atau jangan sekali-kali,” ujar  Ulama multi talenta itu.

Bukan hanya muwalah (urusan kepemimpinan) saja, lanjutnya, termasuk yanshuruunahum(mendukung), wa yastanshoruunahum (meminta dukungan), wa yushoffuuna bihim, wa mu’aasyarotuhum.

“Buka Kitab Bahrul Muhit karya Imam Zarkasyi Jilid 3 halaman 507 dan Kitab Shofwatut Tafasir Jilid 1 halaman 479,” imbuhnya memastikan.

Menurutnya, tidak perlu lagi memperdebatkan yang sudah pasti. Karena ini siyasah syar’iyyah, maka diangkatlah pendapat Imam Ibnu Taimiyah Rohimahullah yang memperbolehkan.

“Beliau bilang boleh. Itu belum titik, jangan berhenti sampai di situ, itu ada yang disembunyikan (oleh orang yang mengutip pendapat Imam Ibnu Taimiyah). Lanjutannya indad dhoruroh, jangan hanya (dikutip) bolehnya saja,” terangnya.

Pendapat yang sudah dipolitisir inilah, kata ulama yang hafal al-Qur’an ini, yang dijual kemana-mana dengan mengangkat isu pemimpin non muslim yang jujur lebih baik daripada muslim yang tidak jujur. Padahal Imam Ibnu Taimiyah memperbolehkan dengan syarat jika kondisinya sudah darurat.

“Pertanyaannya adalah apakah saat sekarang ini posisi kita sudah darurat atau belum? Darurat itu seperti kalau tidak makan atau tidak minum, maka akan mati atau nyaris mati,” tandasnya.

Ditegaskannya, untuk tafsir ayat tersebut sudah tidak ada lagi tawar menawar. Terkait menempatkan kondisi darurat, dia menyarankan untuk membaca Kitab Nazhoriyah Dhoruroh asy-Syar’iyyah (yang sudah diterjemahkannya dalam buku Konsep Darurat dalam Hukum Islam) karya Wahbah Zuhaili dan karya Abdul Wahab Ibrohim Abu Sulaiman.

“Untuk urusan tafsir al-Qur’an, fas aluu ahla dzikri... bukan ahlal jahli,” tutupnya.

Sumber: uinjkt.ac.id

Jumat, 21 Oktober 2016

Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah, Pahlawan Indonesia yang Berhijab Syar’i..!!!

Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah (1900-1969) adalah salah satu pahlawan wanita milik bangsa Indonesia, yang dengan hijab syar’i-nya tak membatasi segala aktifitas dan semangat perjuangannya.
Rahmah, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru, pejuang pendidikan, pendiri sekolah Islam wanita pertama di Indonesia, aktifis kemanusiaan, anggota parlemen wanita RI, dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketika Rahmah bersekolah, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, menjadikan perempuan tidak bebas dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar. Ia mengamati banyak masalah perempuan terutama dalam perspektif fiqih tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan enggan bertanya. Kemudian Rahmah mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, dan tercatat sebagai murid-perempuan pertama yang ikut belajar fiqih, sebagaimana dicatat oleh Hamka.
Setelah itu, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah Lil Banaat (Perguruan Diniyah Putri) di Padang Panjang sebagai sekolah agama Islam khusus wanita pertama di Indonesia. Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tekadnya, “Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?”
Rahmah meluaskan penguasaannya dalam beberapa ilmu terapan agar dapat diajarkan pada murid-muridnya. Ia belajar bertenun tradisional, juga secara privat mempelajari olahraga dan senam dengan seorang guru asal Belanda. Selain itu, ia mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah sakit dibimbing beberapa bidan dan dokter hingga mendapat izin membuka praktek sendiri. Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini yang ia terapkan di Diniyah Putri dan dilimpahkan semua ilmunya itu kepada murid-murid perempuannya.
Pada 1926, Rahmah juga membuka program pemberantasan buta huruf bagi ibu-ibu rumah tangga yang belum sempat mengenyam pendidikan dan dikenal dengan nama Sekolah Menyesal.
Selama pemerintahan kolonial Belanda, Rahmah menghindari aktifitas di jalur politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Ia memilih tidak bekerja sama dengan pemerintah penjajah. Ketika Belanda menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar agar dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah menolak, mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah milik ummat, dibiayai oleh ummat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.
Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapatkan perhatian luas. Ia duduk dalam kepengurusan Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS). Pada 1935, ia diundang mengikuti Kongres Perempuan Indonesia di Batavia. Dalam kongres, ia memperjuangkan hijab sebagai kewajiban bagi muslimah dalam menutup aurat ke dalam kebudayaan Indonesia. Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatera.
Kedatangan tentara Jepang di Minangkabau pada Maret 1942 membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan dan mengurangi kualitas hidup penduduk non-Jepang. Selama pendudukan Jepang, Rahmah ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial. Dalam situasi perang, Rahmah bersama para ADI mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan. Ia memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk menyisihkan beras segenggam setiap kali memasak untuk dibagikan bagi penduduk yang kekurangan makanan. Kepada murid-muridnya, ia menginstruksikan bahwa seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada pada Diniyah Putri dijadikan pakaian untuk penduduk. Selain itu, Rahmah bersama para anggota ADI menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai wanita penghibur untuk tentara Jepang. Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatera Barat berhasil ditutup.
Terimbas oleh Rasuna Said yang terjun ke politik lebih dahulu, dan dengan kondisi Indonesia yang semakin terpuruk oleh penjajah Jepang, akhirnya Rahmah terjun ke dunia politik. Ia bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau yang berkedudukan di Bukittinggi. Ia menjadi Ketua Hahanokai di Padang Panjang untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun (semacam tentara PETA). Seiring memuncaknya ketegangan di Padang Panjang, Rahmah membawa sekitar 100 orang muridnya mengungsi untuk menyelamatkan mereka dari serbuan tentara Jepang. Selama pengungsian, ia menanggung sendiri semua keperluan murid-muridnya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api pada 1944 dan 1945 di Padang Panjang, Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri sebagai tempat perawatan korban kecelakaan. Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo Sangi In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei dan Rahmah duduk sebagai anggota peninjau.
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita tentang proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cuo Sangi In, Muhammad Sjafei, Rahmah segera mengibarkan bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkibar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok daerah. Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, Soekarno yang melihat kiprah Rahmah mengangkatnya sebagai salah seorang anggota.
Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Ia memanggil dan mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota Hahanokai, Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguran Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi yang dibentuk di Padang Panjang.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menangkap sejumlah pemimpin-pemimpin Indonesia di Padang Panjang. Rahmah meninggalkan kota dan bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, ia ditangkap Belanda pada 7 Januari 1949 dan mendekam di tahanan wanita di Padang Panjang. Setelah tujuh hari, ia dibawa ke Padang dan ditahan di sebuah rumah pegawai kepolisian Belanda berkebangsaan Indonesia. Ia melewatkan 3 bulan di Padang sebagai tahanan rumah, sebelum diringankan sebagai tahanan kota selama 5 bulan berikutnya.
Pada Oktober 1949, Rahmah meninggalkan Kota Padang untuk menghadiri undangan Kongres Pendidikan Indonesia di Yogyakarta. Ia baru kembali ke Padang Panjang setelah mengikuti Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta pada akhir 1949. Rahmah bergabung dengan Partai Islam Masyumi. Dalam pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Sumatera Tengah. Melalui Konstituante, ia membawa aspirasinya akan pendidikan dan pelajaran agama Islam.
Pada 1956, Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, Abdurrahman Taj, berkunjung ke Indonesia dan atas ajakan Muhammad Natsir, berkunjung untuk melihat keberadaan Diniyah Putri. Imam Besar tersebut mengungkapkan kekagumannya pada Diniyah Putri, sementara Universitas Al-Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan.
Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, dimana untuk kali pertama Al-Azhar memberikan gelar kehormatan itu pada perempuan.
Hamka mencatat, Diniyah Putri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kuliyah Qismul Banaat (kampus khusus wanita) di Universitas Al-Azhar. Sejak saat itu Universitas Al-Azhar yang berumur 11 abad membuka kampus khusus wanita, yang diinspirasi dari Diniyah Putri di Indonesia yang baru seumur jagung.
Sebelum kepulangannya ke Indonesia, Rahmah mengunjungi Syria, Lebanon, Jordan, dan Iraq atas undangan para pemimpin negara tersebut.
Sekembalinya dari kunjungan ke berbagai negara di Timur Tengah, Rahmah merasa bahwa Soekarno telah terbawa arus kuat PKI. Ia merasa tidak nyaman berjuang di Jakarta, kemudian memilih kembali pulang ke Padang Panjang. Rahmah melihat bahwa mencurahkan perhatiannya untuk memimpin perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen sebagai anggota DPR yang sudah dikuasai komunis. Ketika terjadi PRRI di Sumatera Tengah akhir 1958, akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno, Rahmah ikut bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang mendukungnya. Pada 1964, ia menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan. Sejak itu hingga akhir hayatnya, hidupnya didedikasikan kembali sepenuhnya untuk Diniyah Putri.
Tampak pada foto, pahlawan ini mengenakan hijab syar’i dan baju kurung basiba dengan cara yang anggun, elegan dan modern yang menampakkan kecerdasannya dan kemajuannya dalam berpikir.
(LuLu Basmah – diringkas dari berbagai sumber)

HARI SANTRI NASIONAL Digging up the Past


Oleh: M. Ismail Yusanto  (Jubir Hizbut Tahrir Indonesia)

Digging up the past adalah slogan yang sangat terkenal di kalangan para arkeolog. Ini mewakili semangat mereka untuk mengungkap masa lalu melalui usaha penemuan dan penggalian situs-situs bersejarah. Hasilnya adalah sebuah rekonstruksi kehidupan atau peradaban di masa lalu yang diharap bisa memberi pelajaran kepada kehidupan sekarang dan di masa mendatang.

Tapi slogan itu kiranya tepat juga dipakai oleh kita saat ini yang konsern pada pentingnya pelurusan sejarah. Terlebih setelah Presiden Jokowi - memenuhi janji kampanye saat pilpres tahun lalu - menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.  Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri tidak lepas dari kiprah santri dan para kiai dalam melawan penjajah yang ketika itu terus berusaha mengancam kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. 

Pada 21 Oktober 1945, berkumpul para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam,  pada 22 Oktober dideklarasikanlah seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah Resolusi Jihad. Intinya, membela kemerdekaan Indonesia sebagai negeri muslim dari kaum penjajah adalah kewajiban syar’iy. Inilah jihad, yang diperintahkan Allah SWT, dan pelakunya sangat dimuliakan.

++++

Kita tentu berharap, penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional bukan sekadar pemenuhan janji bagi kepentingan politik pencitraan, tapi ada misi yang lebih jauh, yakni usaha untuk mengungkap kebenaran sejarah. Misi ini sangat penting karena pelurusan sejarah akan berpengaruh besar dalam ikhtiar membangun kesadaran publik yang benar di masa mendatang.

Kita tahu, sejarah memang tidaklah netral. Sejarah adalah realitas tangan ke dua (second-hand reality) yang sangat tergantung pada siapa yang menuliskan, dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Di sinilah, demi memuluskan kepentingan politik penguasa, kejahatan penulisan sejarah kerap terjadi.

Setidaknya ada 3 kejahatan penulisan sejarah yang dilakukan dengan tujuan untuk mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa dan negara ini.

Pertama, penguburan atau peniadaan peristiwa sejarah. Salah satu contoh paling nyata, ya soal Resolusi Jihad itu. Bila sejarah pergerakan  kemerdekaan ditulis secara jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang tergabung dalam Hizbullah dan para kyai yang tergabung dalam Sabilillah dalam periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih khusus peran KH Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan Belanda yang ketika itu, dengan membonceng sekutu, hendak kembali bercokol.

Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, resolusi atau fatwa itu telah mendorong puluhan ribu muslim, utamanya di Surabaya, untuk bertempur melawan Belanda dengan gagah berani. Peristiwa heroik di Hotel Oranye, Surabaya, itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, 10 November. Tanpa resolusi itu, mungkin semangat  melawan Belanda dan sekutu tidak terlalu tinggi. Tapi, dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak ditulis. Sungguh aneh, peristiwa 10 November selalu disebut-sebut, tapi Resolusi Jihad yang membuat peristiwa 10 November bisa terjadi malah disembunyikan.

Buku Resolusi Jihad Paling Syar’iy, yang ditulis oleh Gugun el Guyanie (Pustaka Pesantren, 2010) adalah salah satu buku yang dari sub judulnya “Biarkan kebenaran yang hampir setengah abad dikaburkan catatan sejarah itu terbongkar” menggambarkan semangat untuk mengungkap kebenaran sejarah, khususnya di seputar Resolusi Jihad, yang menurut sejarahwan Belanda Martin van Bruinessen, peristiwa penting ini memang tidak mendapat perhatian yang layak dari para sejarahwan.

Kedua, pengaburan peristiwa sejarah. Contohnya, siapa sebenarnya inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah? Bila sejarah mencatat secara jujur, mestinya bukan Boedi Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI) yang merupakan pengembangan dari Syarikah Dagang Islam (SDI) yang antara lain dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, yang harus disebut sebagai cikal bakal kesadaran nasional melawan penjajah. Sebagai gerakan politik, SI ketika itu benar-benar memang bersifat nasional, ditandai dengan eksistensinya di lebih dari 18 wilayah di Indonesia, dan dengan tujuan yang sangat jelas, yakni melawan penjajah Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo sesungguhnya hanya perkumpulan kecil, sangat elitis, bahkan rasis, serta sama sekali  tidak memiliki spirit perlawanan terhadap Belanda. Tapi mengapa justru sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor?

Ketiga, pengaburan konteks peristiwa sejarah.  Tentu bukan sebuah kebetulan belaka ketika Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasar pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarekat Islam – sebagaimana juga Hari Pendidikan Nasional, bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912, kemana Ki Hadjar waktu itu banyak belajar. Ki Hadjar sendiri baru mendirikan sekolah Taman Siswa pada 1922. Sebab, bila itu dilakukan maka yang akan mengemuka tentu adalah spirit atau semangat Islam. Dalam setting kepentingan politik penguasa saat itu, hal itu sangatlah tidak dikehendaki.
Padahal, spirit Islam sesungguhnya telah lama menjadi dasar perjuangan kemerdekaan di masa lalu. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan Belanda tidak lain didorong oleh semangat jihad melawan penjajah. Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, maka kebanyakan yang tergugah adalah para ulama dan santri dari pelosok desa. Begitu juga pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu dibawah bendera Islam. Perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape Belanda. Begitu juga dengan perang Padri. Sebutan Padri menggambarkan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan. Jadi, jelas sekali ada usaha sistematis untuk meminggirkan, bahkan menghilangkan peran Islam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan serta menghilangkan spirit  Islam dari wajah sejarah bangsa dan negara ini.

Oleh karena itu, penetapan Hari Santri Nasional harus bisa dijadikan momentum untuk melawan kejahatan sejarah itu, serta usaha menulis ulang sejarah: tentang apa yang disebut kebangkitan nasional, pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya, termasuk sejarah pergerakan pra kemerdekaan secara kritis, jujur dan obyektif sehingga peran Islam bisa diletakkan secara tepat. Sejarah dalam istilah al Qur’an sebagaimana kisah, mengandung ibrah atau pelajaran. Pengaburan apalagi penguburan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan menutupi ibrah yang mestinya bisa  didapat.

Maka, bila mengacu kepada sejarah yang benar tentang peran Syarikat Islam, KH Ahmad Dahlan, dan lannya, juga peran KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihadnya serta peran Hizbullah – Sabilillah, kita tentu akan mendapatkan spirit Islam itu. Juga bahwa Kebangkitan hakiki adalah kembalinya kesadaran akan hakikat hidup manusia sebagai abdullah dan khalifatullah dengan misi untuk menyembah Sang Khaliq dan memakmurkan bumi dengan menjalankan segala titahNya. Jadi, kebangkitan bukan hanya sebuah kata sloganistik, tetapi suatu kata yang menginisiasi perjuangan bagi sebuah perubahan dalam seluruh aspek kehidupan bangsa dari penjajahan ideologi-ideologi jahiliah yang menyengsarakan rakyat menuju yang memberikan rahmat bagi semua. Itulah kebangkitan dengan spirit Islam,  yang  ketika itu digelorakan oleh Cokroaminoto dan Sarekat Islam. Spirit Islam semacam itulah yang diperlukan sebagai sumber kekuatan perjuangan guna membawa negeri ini ke arah yang lebih baik di bawah ridha Ilahi.

Jadi, Hari Santri Nasional mestinya bukan sekadar digging up the past (mengungkap masa lalu), tapi digging up the truth (mengungkap kebenaran)!

Jubir HTI: Cukup 6 alasan stop eksploitasi tambah emas di Papua oleh Freeport..

Di tengah rencana pemerintah memperpanjang bercokolnya Freeport mengeruk emas di Papua, hizbut tahrir Indonesia (HTI) dengan tegas menyatakan enam alasan stop eksploitasi tambah emas di Papua oleh Freeport.

“Memang benar, hizbut tahrir itu tidak ambigu dengan stop Freeport!” ujar Juru Bicara hizbut tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto dalam Halqah islam dan Peradaban (HIP) Edisi 59: Stop Freeport! Kembalikan Kekayaan Milik Rakyat, Rabu (21/10) di Gedung Joang 45, Jakarta.

Pertama, fakta Kontrak Karya (KK) II yang ditandatangani 1991 berakhir 2021. Jadi kalau sudah berakhir, berakhir sudah. “Kenapa kita jadi susah begini. Ibarat orang ngontrak di rumah kita, begitu selesai, selesai sudah. Jadi mengapa kita harus menuruti kehendak orang yang ngontrak,” ungkapnya di hadapan sekitar seratus peserta.

Kedua, dari semula Freeport melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. UU tersebut mensyaratkan paling lambat lima tahun setelah UU tersebut diundangkan perusahaan tambang harus mempunyai smelter. Artinya, akhir 2014 Freeport harus sudah punya smelter. Tapi sampai sekarang, belum punya juga.

Ketiga, ini yang substansi, dengan dikelola sendiri, tambang emas di Papua bisa membiayai apbn yang cuma 2000 trilyun itu tanpa harus memajaki uang receh rakyat.
Ismail pun memberikan berbandingan meski apbn sekarang nampak naik 20 kali lipat dari apbn 1997-1998 yang hanya sekitar 100 trilyun itu, sebenarnya bila dihitung emas, tetap hanya 4 juta kilo gram saja (emas per gram sekitar Rp 25 ribu pada 1997-1998 dan sekitar Rp 500 ribu pada tahun ini).

“Kan sama. Tetapi karena emasnya itu kita lepas dan kita pegang rupiah, maka kemudian pemerintah itu susah sekali untuk mendapatkan 2000 trilyun sampai menggunakan jurus orang mabuk tersebut,” bebernya.

Keempat, ini yang paling penting, “bahwa tambang emas di Papua itu milik kita, milik rakyat, bukan milik mereka (Freeport). Milik kita, ya milik kita, mereka apa urusannya? Kalau mereka marah itu wajar, karena mereka sudah puluhan tahun menikmati harta kita,” tegasnya.
Jadi, mainset terhadap masalah ini bukan lagi bisnis dengan bisnis (B to B) tetapi ini soal politik.

“Saya fikir orang-orang seperti Ivo Morales dan Huga Chaves adalah orang-orang yang bisa memberikan contoh kepada kita secara nyata bagaimana saat ini berhadapan dengan kapitalis global. Kapitalis global juga ngancam-ngancam ke Bolivia serta Venezuela tapi Morales dan Chaves tetap mempertahankan prinsipnya dan kapitalisme global tidak bisa apa-apa,” ungkapnya.

Kelima, kalau tambang tersebut dikelola oleh Freeport karena alasan Indonesia tidak punya modal, itu juga tidak bisa diterima. Freeport dulu juga tidak punya apa-apa, dia mendapatkan modal dengan menjadikan kandungan emas di Papua sebagai agunannya.
Nah, investasi yang akan digelontorkan Freeport untuk 2021-2041 sebesar USD 18 milyar atau sekitar 180-200 trilyun. Itu kan kurang lebih sekitar 400 juta gram. Sementara di tambang Grasberg itu terdapat 740 juta kilo ton emas. Jadi duit 200 trilyun itu kecil, bank-bank BUMN bisa meminjamkannya.

Keenam, masalah skill. Memang betul diperlukan teknologi tinggi tetapi itu untuk pertambangan di Afrika yang tambangnya 3 kilometer di bawah permukaan tanah, tambang di Indonesia tidak serumit itu. “Orang-orang Indonesia sudah lebih dari cukup memiliki skill, yang bekerja di Freeport itu kan orang Indonesia semua, yang bule itu kan cuma Moffett doang! Apa alasannya kita bilang tidak mampu secara teknik,” pungkasnya.

Dalam kesempatan tersebut, hadir pula Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib (keynote speaker); Effendi Simbolon (Fraksi PDIP DPR RI); M Hatta Taliwang (Direktur IEPSH) dan Marwan Batubara (pengamat pertambangan).

Bangkai sang Penjerat

Berulang kali ku mencoba berlari tinggalkan busuknya bangkai yang baunya menyengat tak bertepi. Tapi apalah dayaku, jarak yang ku tempuh untuk berlari menjauhi busuknya bangkai seolah tak pernah bertambah jauh. Dan bau itu seakan terus menarikku untuk kembali, dan itu terus terjadi untuk kesekian kali.

Aku mengetahui bau busuknya bangkai itu begitu terang dan jelas. Terang bagai matahari di siang hari dan jelas bagai embun dedaunan di pagi hari. Telah berupaya aku menggunakan masker penutup hidung untuk menjauhi busuknya bangkai dan di sepanjang ku berlari untuk menjauh Bangkai, yang kemudian ku selingi dengan mencium harumnya melati. Lagi dan lagi sengatan bangkai itu tak henti-hentinya menarikku kembali.

Entahlah apa yang membuatku begini...?
Telah ku ciumi harumnya melati, dan telah ku tutup rapat hidungku dengan masker agar mengalihkanku dari busuknya bangkai. Tapi aku seakan menjadi bodoh dan matinya alam fikirku ketika bangkai itu telah kudekati. Hingga kini aku masih bertanya-tanya, apa yang telah menjadikan bangkai itu tetap indah dipandang mata padahal ia adalah seburuk-buruknya benda dan yang melekatkan keburukan kepada setiap orang yang mendekatinya....

Bersambung....



Kamis, 20 Oktober 2016

MENYELESAIKAN MASALAH PENISTAAN AGAMA HINGGA KE AKAR

By: Salam el Fath
Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang
Jurusan Study Islam Interdisipliner 

Beberapa hari ini telah terjadi gelombang aksi secara massif yang dilakukan oleh Umat Islam se-Indonesia terutama pada hari Jum’at, 14, Oktober 2016. di DKI Jakarta dengan masa aksi yang kurang lebih berjumlah 30 ribu orang umat Islam dan beberapa orang non-Islam dari etnis tionghoa/China dengan tuntutan agar AHOK (Gubernur DKI Jakarta) dihukum atas penistaan agama. Sebelumnya telah beredar di jejaring social perkataan AHOK yang melakukan penghinaan terhadap kitab suci al Qur’an dengan mengatakan bahwa masyarakat telah dibodohi dengan ayat al Qur’an surah Al-Maidah : 51.

“ Kalau bapak/ibu ga bisa pilih saya karena dibohongin dengan surat Al-Maidah:51, macem-macem itu. Kalo bapak ibu merasa ga milih neh karena saya takut neraka, dibodohin gitu ya gapapa” ucap Ahok.

Video tersebut telah mengundang kemarahan dari Umat Islam di Indonesia karena mereka merasa bahwa kitab sucinya telah dihinakan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahya Purnama. Menurut salah seorang pakar Kristologi di Indonesia yang juga mantan seorang Biarawati Katolik, Hj. Irena Handono, ia mengatakan bahwa AHOK ketika menghina al Qur’an, maka ada dua hal yang dihinanya, yakni al Qur’an dan Ulama.

“…itu artinya, Ahok telah secara nyata: 1) menyebut al Qur’an sebagai sumber kebodohan, dan 2) siapa saja yang menyampaikan haramnya memilih pemimpin kafir dengan dasar ayat itu, juga disebut oleh Ahok sebagai telah melakukan pembodohan.” Katanya di situs Change.org

                Aksi yang dilakukan oleh Umat Islam tersebut adalah sesuatu yang wajar, mengingat kitab suci yang selama ini telah dijadikan sebagai rujukan untuk memperbaiki kondisi social masyarakat yang terpuruk dalam kemaksiatan atau kerusakan yang mengakibatkan terjadinya free seks, narkoba, miras, aborsi, korupsi, pemerkosaan, perilaku keagamaan yang singkretisme, syirik, dan sebagainya itu telah dituduh sebagai kitab yang membohongi dan membodohi penganut Agama Islam. Dan hal ini lebih menimbulkan kemarahan yang luar biasa karena dilakukan oleh seorang Gubernur Ibu Kota yang nota benenya memiliki pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat. Apalagi disinyalir telah dijadikan sebagai alat untuk kampanye terselubung dalam konteks PILKADA DKI Jakarta di tahun 2017 mendatang.
Dalam tulisan ini saya tidak ingin terlalu membahas efek penghinaan atau pelecehan yang dilakukan oleh Ahok terhadap al Qur’an dan para ulama, akan tetapi yang saya inginkan adalah lebih kepada menganalisis tentang efek atau akibat yang akan terjadi dari aksi yang dilakukan oleh Umat Islam jika aksi yang dilakukan hanya sebatas gerakan emosional tanpa persiapan dan langkah-langkah yang lebih jitu dalam melakukan aksi tuntutan terhadap Ahok sang penghina al Qur’an.
Ahok bisa saja lengser dan dihukum jika para Ulama dan komponen umat Islam terus melakukan aksi mobilisasi masa dengan menuntut kepada penguasa dan kepolisian untuk menyeret Ahok dalam ranah hokum. Dan hal ini sudah terlihat sejak adanya aksi yang dilakukan pada Jum’at, 14, Oktober kemarin. Apalagi ditambah dengan dukungan yang dilakukan oleh Pangdam Jaya dan Kapolda DKI Jakarta yang juga ikut melakukan aksi tuntutan agar Ahok diseret ke ranah hukum. Hal ini semakin membuka lebar untuk terseretnya Basuki Cahya Purnama ke meja Hukum. Dan ending dari semua itu adalah bisa mengakibatkan lengsernya Ahok dari posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Akan tetapi, jika yang menjadi focus hanyalah agar Ahok dihukum atas perbuatannya. Maka penghinaan seperti yang telah dilakukan Ahok terhadap al Qur’an tersebut tidak akan berhenti sampai di situ saja, kasus penghinaan dan pelecehan terhadap Islam akan terus terjadi dan berulang kembali dengan pelaku yang berbeda. Dan itu akan menjadi bahan ledekan dan cemoohan para pembenci Islam kepada kaum muslimin akibat hukum yang diterapkan di negeri ini belum mampu memberi efek jera kepada pelaku penista agama.
Umat Islam akan menjadi letih dan lelah karena terus dimainkan emosinya oleh para penista agama. Sedangkan hukum yang dijadikan sebagai alat untuk menghukumi para pelaku penista agama tidak mampu memberi efek jera dan mencegah orang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Dan itu akan terus menguras tenaga dan emosi umat akibat kemarahan mereka terhadap pelaku pelecehan dan penghinaan terhadap Islam yang silih berganti datang.

 Oleh karena itu, Para Ulama seharusnya memperhatikan juga terkait penyebab maraknya para pelaku penistaan agama, terutama agama Islam yang selalu menjadi bulan-bulanan penistaan agama di negeri ini. Agar tidak terjadi lagi kasus penistaan agama sebagaimana yang sudah berulang kali terjadi sebelumnya. Sebab jika tidak demikian, maka akan ada kemungkinan umat akan merasa lelah dan pasrah terhadap pelaku penghinaan terhadap Islam.
Paling tidak, selain berusaha agar Ahok dihukum atas perbuatannya, para Ulama juga harus memperhatikan akar sebab dari munculnya para penista agama, yakni dengan meninjau ulang Undang-Undang terkait penistaan dan pelecehan agama agar lebih memberi efek jera dan mencegah orang lain untuk melakukan perbuatan yang sama. Kalau memang hukum tersebut harus diterapkan Syari’at Islam yang diyakini dapat memberikan efek jera dan mampu mencegah orang lain agar tidak melakukan penistaan agama, maka para Ulama harus menyupayakan hal itu jika memang benar-benar ingin menjaga Islam dari aktivitas pelecehan dan penistaan yang dilakukan oleh orang-orang yang membenci Islam. Sehingga Umas Islam tidak lagi terkuras tenaganya hanya untuk mengurusi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dari kasus penistaan agama.

Wallahu a’lam…..

Dwi Condro Triono: Dana ini mau kita belikan apa ?


 " Dulu pernah sewaktu kuliah di Malaysia, saya diminta berpidato dalam acara pengumpulan dana untuk membantu rakyat palestina yang tengah di bombardir Israel. Semangat warga malaysia untuk mengumpulkan dana sangat besar. Antusias sekali. Terkumpul dana yang lumayan banyak.

Setelah beberapa pembicara selesai, tiba giliran saya. Saya bertanya pada hadirin :
" Dana ini mau kita belikan apa ?."
" Obat-obatan ...!," jawab hadirin.
" Tuan-tuan dan puan-puan, dengan mengirim obat-obatan ke Palestina, kita membantu atau mendzalimi rakyat palestina ?," tanya saya lagi.
" Membantuuuu ...!,"
" Sekali lagi saya tanya, dengan mengirim obatan-obatan, kita membantu atau mendzalimi rakyat Palestina ?."
" Membantuuu ..!," Terlihat wajah yang keheranan dengan pengulangan pertanyaan saya.
Sekali lagi saya bertanya :
" Dengan mengirim obat-obatan, kita membantu atau mendzalimi rakyat Palestina ???."
" Membantuuuu ...!," dijawab dengan agak kesal.
" Salah ..! Dengan mengirim obat-obatan, kita justru mendzalimi mereka."
Semua terdiam kebingungan.
Kemudian saya menyampaikan satu analog.
" Jika ada seseorang yang didatangi orang jahat kerumahnya dan kemudian memukuli dan menganiaya orang tersebut, dan kemudian kita mengobati luka-lukanya untuk kemudian kita tetap tinggalkan dia di dalam rumah dimana didalamnya si penganiya tetap ada dan kembali menganiayanya, dan kembali kita obati dan kita tinggalkan lagi dia dalam rumah dimana si penganiaya akan kembali menganiayanya, itu perbuatan membantu atau mendzalimi ???."
Hadirin terdiam.
" Tuan-tuan dan puan-puan, jika kita ingin membantu orang itu, yang pertama kita lakukan adalah mengusir si penganiaya dari dalam rumah. Percuma mengobatinya berkali-kali selama si penganiya tetap ada di dalam rumah. Jadi jika ingin menolong rakyat Palestina, kita minta pada negara untuk mengerahkan militer untuk mengusir Israel dari bumi Palestina. Percuma mengirim obat-obatan jika bom-bom Israel tidak pernah berhenti melukai rakyat Palestina."
#save_palestina_with_khilafah

ANALIS: AHOK AKAN RUNTUH DAN MENYERET PARA PEMODALNYA..?!

Ahok akan runtuh dan menyeret orang-orang di sekelilingnya jika Umat Islam benar-benar menginginkan agar Ahok dihukum. Umat Islam harus terus menuntut sampai Ahok memperoleh hukuman atas penistaan yang telah dia lakukan atas kitab suci mereka. 

Dan jika hal itu terjadi, maka itu juga sekaligus akan meruntuhkan kekuasaan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dan bisa jadi bukan hanya Ahok yang akan lengser dari kursi Gubernur, tetapi juga akan menyeret Jokowi untuk turun dari kursi Presiden.
Karena selama ini masyakarat juga telah memahami bahwa Ahok bekerjasama dengan Jokowi untuk memperoleh kursi kekuasaan. Dan begitu juga sebaliknya. Biasanya jika di antara salah satunya jatuh, maka yang akan jatuh tersebut akan menarik orang-orang yang telah mendukungnya selama ini.

Akan tetapi melihat kondisi Ahok yang semakin terjepit, maka Jokowi akan berusaha melindunginya. Dan itu terlihat dari diamnya beliau terhadap kasus Ahok ini.

Dan hal ini akan semakin membuat marah Umat Islam hingga akhirnya mereka bisa saja melakukan Revolusi sosial jika pihak kepolisian melarut-larutkan masalah Ahok ini.

Dan kalau Ahok benar-benar turun dari tahta kekuasaannya, maka saya yakin bahwa Ahok tidak mungkin mau turun sendiri. Istilahnya itu "bekerjasama untuk berkuasa, dan akan saling tarik agar bersama dalam melepaskan jabatannya."

Dan bukan hanya itu, pengaruh orang Kapital yang memodali keduanya dalam prosesi Presiden dan Gubernur juga akan ikut terseret jatuh dan hilang pengaruhnya. Karena yang namanya satu kesatuan, akan jatuh beriringan jika ada satu bagian lain yang melakukan kesalahan.

Layaknya tubuh manusia, jika satu bagian ada yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya. Cukup sakit gigi, maka seluruh tubuh akan ikut menggigil, merengek, tidak mau makan, tidak mau jalan-jalan, tidak mau bekerja, dan sebagainya.

Padahal antara gigi dan kaki adalah 2 hal yang berbeda. Tapi karena satu tubuh, maka semuanya menjadi runtuh. Jokowi, Ahok, dan Para pemilik modal yang saat ini menguasai Negara. Dengan kasus penistaan al Qur'an ini akan meruntuhkan mereka secara berjama'ah.

Akan tetapi bisa saja keruntuhan berjama'ah itu tidak terjadi jika Jokowi dan Para pemilik modal bersedia mengorbankan Ahok. Tapi jika tidak, maka akan fatal akibatnya. Tetapi apakah Ahok mau menjadi tumbal kekuasaan Jokowi dan Para Aseng di Negeri ini...?! 

Sebab jika Ahok menolak, maka semua yang terkait akan ikut terseret jatuh dari kursi kekuasaan.
Dan Umat Islam harus segera menyodorkan Konsep Mereka dalam menerapkan aturan Islam, agar negeri ini diatur dengan Syari'at Islam.

Dan hal itu harus dilakukan jika Umat Islam benar-benar menginginkan agar diterapkan Syari'at Islam sebagaimana yang mereka inginkan selama ini dengan melaksanakan aksi seperti Jum'at 14, Oktober, 2016, kemarin menjadi #RevolusiSosial. Sebab, akan disebut dengan perjuangan yang maximal apabila #Revolusi berjalan dengan kesadaran utuh bahwa Syari'at Islam harus diterapkan demi mencegah terjadinya penistaan terhadap Islam.

Sekali lagi, jika umat Islam benar-benar menginginkan agar rakyat Indonesia keluar dari jerat Kapitalisme yang telah lama mencekik mereka.

Oleh:
Salam el Fath (Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang)

Rabu, 19 Oktober 2016

Benarkah Agama Urusan Pribadi ?...


Kalimat paling menyesatkan dan tanpa dasar adalah yang menyebutkan bahwa "Urusan Agama itu urusan pribadi"

Kalimat di atas itu kelihatannya menarik, dan bagus untuk diikuti, tapi sebenarnya ada selubungan yang bermaksud menyesati.

Mungkin kalimat itu bisa dikatakan benar jika ia dipakai oleh orang KAFIR. Terutama bagi kaum KAFIR di luar negeri.

Aku pernah berbincang singkat dengan seorang KAFIR KATOLIK dari Prancis. Aku katakan padanya bahwa aku ingin berbincang tentang Islam dan Katolik yang dianutnya.

Tapi karena itu pertemuan awalku dengannya, kemudian ada temannya mengatakan bahwa, "Orang Eropa itu tidak suka diajak bicara tentang Agama, sebab menurut mereka Agama itu urusan privasi (pribadi) mereka"

Setelah ku ketahui demikian, aku langsung menarik diri dari tujuanku sebelumnya.

Aku hanya menduga, bahwa mungkin Agama menurut mereka adalah sesuatu yang tidak menarik untuk dibicarakan. Sebab ia adalah sesuatu yang terkait dengan keyakinan subjektif penganutnya.

Pendapat seerti itu yang dalam pemahaman saya paling banyak beredar di tengah-tengah masyarakat Eropa-Barat.

Lalu diadopsi oleh para mahasiswa Magister dan Doktoral dari Indonesia sebagai wacana keilmuan yang menurut mereka adalah sebuah kebenaran.

Paling tidak seperti itulah yang ku ketahui selama mengikuti alur pemikiran dosen-dosen saya yang berafiliasi kepada Kaum Liberal.

Mereka bersikap latah terhadap segala pemikiran yang berasal dari Barat. Dan tanpa menyadari bahwa mereka telah tunduk di bawah pemikiran dan budaya Barat.

Maka jangan heran jika tak pernah muncul dari pernyataan kaum Liberal yang menggugat LGBT, Prostitusi, dan berbagai macam jenis penyimpangan agama yg terjadi di negeri ini.

Awal mulanya dari kalimat paling atas tadi, yakni "Agama adalah urusan pribadi". Mau sesat terserah, orang lain ga boleh ikut campur.

Itulah hal-hal yang telah menimpa kaum Muslimin saat ini. Mereka diajak untuk malas berfikir dan membicarakan tentang agama.

Ada yang beri nasehat, ia malah bilang, "Urus diri sendir, jangan urus orang lain".

Kalimat itu cuman dikit, tapi berhasil melanggengkan kemungkaran di tubuh kaum Muslimin.

Padahal dalam pandangan Islam, Agama adalah suatu hal yang besar dan sangat penting untuk dibacarakan dan dilaksanakan.

Sebab dari agama itulah seseorang dapat dilihat bahwa ia adalah makhluk berperadaban.

Islam adalah suatu konsep aturan yang dapat memuliakan manusia dari perilaku kebinatangan menuju manusi yang berperilaku kemanusiaan.

Islam adalah suatu konsep yang dapat mengubah manusia yang tadinya tidak berbaju menjadi manusia yang berbaju.

Islam adalah suatu konsep yang dapat mengubah pemabuk menjadi sholih dan tidak mabuk-mabuk.

Islam adalah suatu konsep yang mengubah pelacur manjadi Muslimah yang menyesali diri karena pernah berbuat begitu.

Islam adalah suatu konsep yang dapat mengubah suatu bangsa yang berperadaban sampah menjadi Madinatul Mukarromah.

Islam adalah solusi jika sebuah bangsa ingin move on dari peradaban kelam yang menyelimutinya.

Maka inilah relevansi Islam, bahwa ia adalah agama yang besar dan dapat membesarkan cara berfikir orang yang mengambilnya sebagai jalan kebenaran.

Dan inilah relevansi Islam, bahwa ia adalah agama yang layak dibicarakan dan terus disebarkan.

Maka marilah kita lemparkan kalimat yang mengatakan bahwa, "Agama adalah urusan pribadi" ke "Tong Sampah Pemikiran."

Apa itu "Tong Sampah Pemikiran"...?
ia adalah sesuatu yang membuat kita tidak mengingat apa pun.

Ya...dia bernama LUPA.
Mari kita lupakan kalimat "Agama adalah urusan Pribadi".

Buang dia jauh-jauh ke dalam sel terjauh kita hingga ia menjadi sebuah kalimat yang seakan tak pernah ada di sepanjang hidup kita.

#YourLifeIsYourChoice
Maka memilih untuk memahami Islam adalah pilihan terbaik.

By: Salam el Fath

Salam el Fath: Monyongin Mulut Bagian dari Penyakit

Salah satu ciri orang yang sedang terkena penyakit adalah ketika berfoto mulut di monyong-monyongin, wajah di kiyut-kiyutin, mata dimeramin, dan lidah di julurin.

Dan itu semua adalah hasil perkawinan antara Si SELFIE yang bersuamikan NARSEUS.

Itu menurut pemilik status ini.
Saat komen upayakan hati sedang dingin, agar tak ada emosi, yang justru bisa semakin menanbah penyakit.

Sebab SETAN bermain di aliran darah dan akan semakin menguasau manusia apabila ia telah MARAH.

Selamat berkomen ria wahai pemirsa.
Hehehe...

Selasa, 18 Oktober 2016

Aktivis HTI (S2) VS 5 Mahasiswa S3 UIN Malang, 2016.



Saya banyak mempunyai teman dengan berbagai ideologi politik, mulai dari yang ingin Aceh Merdeka, Papua Merdeka, Pejuang Khilafah Islamiyah (HTI), pejuang diktator proletariat (komunis). Tidak jarang dalam beberapa momen seperti ngopi pagi, makan siang, makan malam terjadi diskusi bahkan debat yang keras. Berikut saya turunkan sebuah catatan yang lumayan panjang yang kebetulan diskusi terfokus pada isu khilafah HTI. Catatan ini sebenarnya berbentuk perdebatan, namun saya kemas menjadi semacam wawancara yang hanya fokus kepada jawaban kader HTI. Silahkan disimak untuk memahami bagaimana itu HTI. A adalah saya dan teman-teman, dan HTI adalah kader HTI.

A : Bernegara itu bukan bagian dari Rukun Iman, jadi mau percaya sama khilafah atau demokrasi sama saja.
HTI : Dia bukan bagian dari iman. Tapi jika beraqidah Asy’ariyah, maka harus membuang demokrasi.

A : Apa itu aqidah Asy’ariyah?
HTI : Aqidah Asy’ariyah yang kupelajari sejak SD dikatakan bahwa iman itu adalah yang diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Dan terkait NU dan Muhammadiyah, dari kalangan ulamanya tidak menafikkan bahwa khilafah adalah ajaran Islam. Bahkan jika merujuk pendapatnya Imam Nawawi, maka khilafah wajib ditegakkan.

A: Lebih penting iman atau khilafah?
HTI: Memperjuangkan Khilafah adalah konsekuensi logis dari keberimanan kita kepada Allah.

A: Saya masih mencintai indonesia dan pejuang2nya
HTI: Memperjuangkan Khilafah adalah wujud nyata kecintaan kita kepada Indonesia dan para pahlawannya. Sebab tujuan para pahlawan mengusir penjajah adalah agar melepaskan diri dari penjajahan dan hegemoni mereka.

A: Saya tetap pada keyakinan dasar, seorang muslim itu harus menjalankan 5 rukun islam, 6 rukun iman dan ikhsan.
HTI: Salah satu rukun iman adalah mempercayai al Qur'an. Maka wajib bagi setiap muslim menjalankan segala aturan yg ada di dalamnya.

A : Islam Totalitas itu tidak harus model khilafah HTI kan?
HTI : Jika ada sistem yang bisa menerapkan Islam secara totalitas selain khilafah, maka saya ikut itu. Tapi mungkin bisa diberikan ma’lumat, sistem apakah itu...? Demokrasi jelas gagal total. 

A: ngomong aja gagal total tapi hidup disini juga..keluar sana cari negara yg gak gagal total.
HTI: Demokrasi sistemnya orang Kafir. Sedangkan Indonesia mayoritas muslim. Mungkin akan lebih baik jika pengagum Demokrasi keluar dari Indonesia. 😬😬😬

A: tros kalau pengagum khilafah ada di sini, mau di apain negara ini?
HTI: Mau diusahakan agar menegakkan Khilafah dan membuang Demokrasi.

A: Sama dengan Bang Salam pakai baju buatan orang kafir. Sedangkan Bang Salam, muslim. Mungkin lebih baik Bang Salam ga usah pakai baju. Apa ya demikian?...
HTI: Alhamdulillah Islam tidak anti produk2 orang kafir seperti Pakaian, tekhnology dan lain2.

A: kalau gak anti produk kafir, demokrasi itu produk kafir. gimana toh....?
HTI: Beda aturan dengan benda.
Kalau aturan, Islam sudah punya. Ga butuh Demokrasi.

A: Dia hdup dalam tirani demokrasi, sementara menginginkan khilafah?
HTI: Ini yang disebut dengan memberontak dari penyebab kerusakan.

A : Apakah khilafah dan demokrasi bisa berdampingan?
HTI : Khilafah dan demokrasi memiliki aqidah yang berbeda, dan mustahil disandingkan. Dan substansi demokrasi adalah menolak aturan Allah. Sedangkan khilafah mengharuskan aturan Allah mengatur seluruh urusan negara.

A: Bagaimakah keberadaan teman2 khilafah di negara demokrasi?
HTI: Keberadaan kita di Negeri ini mutlak karena karunia Allah. Dan kita harus menyukurinya dengan berupaya menerapkan aturan-Nya.

A: Islam itu mudah, Knpa dipersulit ?
HTI: Kitalah yang mempersulit diri kita untuk memperjuangkan aturan Allah.

A: Jika khilafah tegak mau apa?
HTI : Kalau khilafah sudah tegak. Maka kita sudah bisa menghilangkan kemaksiatan secara total.

A : Kenapa khilafah gak mau dakwah nyata? Knp tidak mau dengan aceh sebagai daerah istimewa islam? Apa g capek selalu menyuarakan khilafah yang berujung pada tidak percaya pemerintahan
HTI : Khilafah itu sistem yang dikendalikan oleh khalifah, bukan kelompok. Maka yang menjadi tugas kita adalah mengangkat seorang khalifah, dan khalifah itu akan terangkat jika didukung umat dan ahlul quwwah. Maka kewajiban kita adalah berdakwah kepada umat dan ahlul quwwah.

A : loh, itu revolusi politik loh....apakan TNI dan rakyat yg tidak sepaham akan diam? lalu perang saudara, itu yg diinginkan hti?
HTI : Dakwah yang dilakukan HTI hanya memahamkan, dan khilafah hanya akan ditegakkan jika para ahlul quwwahnya dengan sukarela mau menegakkannya.

A : Perjuangan HTI tidak penting
HTI : Kita perlu mengasihani diri kita jika kita menganggap bahwa ada hal yang lebih penting dari syariat Islam. Memperjuangan khilafah adalah konsekuensi logis dari keberimanan kita kepada Allah.

A : Perjuangan Aceh dan Papua untuk merdeka lebih kongkrit.
HTI : Apalah artinya merdeka jika tidak menganggap Syariah sebagai sesuatu yang sangat penting dalam hidup kita.

A : Khilafah hanya produk pemikiran.
HTI : Kalau hanya sebagai pemikiran, maka kita telah menolak  sejarah peradaban Islam sebagai sebuah entitas yang telah berjasa membawa Islam hingga ke Nusantara, dan itu disebut durhaka kepada peradaban Islam.

A: tros...kalau khilafah tidak berasil di wujudkan....bagai mana?
HTI: Bisa diwujudkan atau tidak, tugas kita cuman menyampaikan dan berusaha.

A : HTI munafik, menikmati alam demokrasi sambil menolaknya.
HTI : Munafik itu jika menghirup udara secara gratis dari Allah dan makan dari rizki yang diberikan Allah tapi tidak mau berupaya menerapkan aturan Allah.

A: loh kok main justifikasi paling merasa menegakkan syariat?
HTI: Bukan paling merasa Pak, cuman mengingatkan agar bersama memperjuangkan syariat. Cuman kadang diperlukan pernyataan yg memberi penegasan.

A: Munafik itu jika menghirup udara secara gratis dari Allah dan makan dari rizki yang diberikan Allah tapi tidak mau beruapaya menerapkan aturan Allah. Apakah statemen ini kesimpulannya mau mengatakan yang lain tidak islami, kafir, karena tidak sevisi hti?
HTI: Ini stetmen sebagai penyadaran bahwa kita semua memang menikmati segala sesuatu dari Allah. Dan menjadi tidak wajar jika kita tidak berupaya menjalankan perintahnya.

A : HTI bertopeng mencintai Indonesia padahal ingin menghancurkan Indonesia.
HTI : Heheheh....bukan bertopeng Pak, tapi memang karena kemurnian cinta yang menginginkan agar Indonesia keluar dari hegemoni penjajah.

A: Perjelas saja, katakan saja kami mau bubarkan indonesia. jelas kan...jadi enak perang fisiknya.
HTI: Bukannya membubarkan, tapi ingin memperbaiki agar kita lebih bebas dalam menjayakan negeri kita.

A : HTI dibiayai Amerika?
HTI : Alhamdulilah Amerika menjadi musuh utama kita, maka aneh jika menerima dana dari mereka.

A : HTI munafik dalam menyikapi demokrasi.
HTI : Khilafah bertentang dengan demokrasi, tapi tidak dengan Pancasila.

A : Aneh, menolak demokrasi tapi tidak menolak Pancasila, padahal Pancasila menganjurkan demokrasi.
HTI :..................(tidak ada jawaban) ..................
A : Berapa AK 47 yang HTI punya untuk perang menghancurkan NKRI?
HTI : Tidak punya.

A : Kembali kepada tidak ada dalam sejarah politik dan pendirian negara tanpa adanya korban jiwa, perang adalah keniscayaan.
HTI : Sebenarnya ada, yaitu ketika Rasulullah menegakkan peradaban Islam di Madinah. Dan itu yang dicontoh HTI dalam prosesnya. Semoga bisa dicapai sebagaimana mestinya. Olehsebab itu, dakwah HTI tanpa kekerasan sebagaimana dakwah Rasul dan Sahabat sebelum Islam tegak di Madinah.

A : Lalu bagaimana anda memposisikan Nabi sebagai Jenderal Perang?
HTI : Nabi menjadi Jenderal setelah menegakkan peradaban Islam di Madinah. Sebelum itu beliau dan para sahabat masih sebatas kelompok dakwah. Itu yang saya faham dari perjalanan dakwah beliau.

================== Diskusi terhenti ========================

NB: Jawaban HTI adalah otentik sebagaimana yang disampaikannya.