Jumat, 23 Desember 2016

MEMAHAMI TOLERANSI DALAM BERAGAMA

Babi itu HARAM, Anjing juga HARAM, dan Miras pun sama, HARAM juga. Begitu juga Kalung Salib itu HARAM, Topi Natal juga HARAM, dan Trompet pun sama, HARAM juga.

Mengkonsumsi atau menjual barang HARAM, maka hukumnya juga sama-sama HARAM.

Kalau Mengkonsumsinya HARAM, menjualnya juga HARAM. Maka menghadiri dan mengucapkan selamat kepada perayaan ibadah orang lain juga HARAM.

Mengkonsumsi, Menjual, Mengucapkan Selamat dan ikut merayakan ibadah orang lain adalah 1 Paket, namanya paketan HARAM.

Itu semua adalah perintah dari pemberi hidup, nikmat sehat, nikmat alam semesta, nikmat tumbuh-tumbuhan, nikmat makanan, dan berbagai macam limpahan rahmat yang telah Allah berikan.

Seberapa besar keuntunganmu menjual barang HARAM, maka tidak akan pernah mengalahkan 5 menit pemberian Allah berupa nikmat sehat.

Apalah artinya punya banyak uang, jika hal itu adalah dari hasil penjualan barang HARAM.
Percuma kawan, jika dimakan anak-istrimu, maka engkau sama saja telah meletakkan API NERAKA di dalam perut mereka.

Apalah artinya punya pekerjaan dengan gaji besar, jika hal itu membuatmu harus memakai atriubut natal, mengucapkan selamat, dan menghadiri perayaan ibadah agama orang lain yang jelas bertentangan dengan ISLAM.
Percuma saudara, jika engkau pada akhirnya tanpa sadar mengucapkan selamat atas kelahiran anak Allah. Padahal Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

Percuma bro punya gaji tinggi dengan pekerjaan bergengsi jika kamu pada akhirnya ikut merayakan perayaan ibadah agama orang lain yang merayakan kelahiran anak Tuhan. Padahal Allah telah mengatakan bahwa "Telah Kafir orang yang mengatakan bahwa Allah adalah tiga dalam satu"

Punya teman orang kafir itu ga papa, jika bisa membawanya pada ISLAM, subhanallah. Tapi jika terkait dengan agama dia, maka sikap kita itu jelas "Lakum Dinukum wa Liyadin"

Punya bos orang kafir itu ga papa, karena itu tidak dilarang oleh agama. tapi kalau diajak untuk memakai atribut ibadahnya dan ikut berpartisisapi merayakan agamanya, maka katakanlah dengan santun, bahwa toleransi itu "tidak mengganggu perayaan ibadah agama lain, dan tidak mencampurkan agama yang satu dengan agama lain".

Bro, tidak perlu takut untuk menyampaikan kebenaran dan bersikap tegas dalam urusan agama, karena itu adalah pertaruhan atas dirimu sendiri suatu saat di hadapan Allah. Bagaimana mungkin bisa engkau berpaling dari perintah Allah, padahal selama ini Dialah yang telah memberikan hidup dan berbagai macam nikmat padamu secara cuma-cuma.

Gaji 10 tahun mu dalam bekerja, jika Allah menghendaki mu untuk sakit dalam 1 minggu saja, gaji 10 tahun mu bekerja itu bisa saja sirna. Tapi Allah begitu sangat mencintai kita, sehingga sampai kini kesehatan kita Alhamdulilah masih terjaga. GRATIS lagi...

Bro, kamu taat pada Allah atau tidak Dia tidak rugi apa-apa, tapi yang rugi itu kita, Allah hanya memberikan petunjuk yang menjadi wujud nyata bahwa Dia sangat menyayangi kita.

Bro, kita ini ibarat permainan bola. Ada pemaian, ada wasit, ada suporter, dan ada lawan.
Tapi dalam permainan yang kita jalani, pemainnya itu kita, dan wasitnya juga kita. dan kita juga punya pendukung, yaitu Allan dan para malaikatnya. sedangkan lawan kita adalah Iblis laknatullah. dan dalam setiap permainan, selalu ada pemenang.

Tapi yang kita mainkan hari ini adalah permainan dalam menghadapi perayaan ibadah agama lain. Kita sebagai pemain, lawan kita adalah Setan. Iblis menyuruh kita agar memakai dan menjual atribut natal, serta mengucapkan selamat natal dan menghadiri undangan perayaan natal.

Sebagai pemain, kita mau lawan ajakan Setan atau mengikutinya...?
Kalau kita ikuti, berarti kita dikalah oleh Setan, dan kalau kita lawan, berarti kitalah pemenangnya. dan sebagai wasit, kita lah yang menentukan pilihan itu. sementara suporter kita adalah Allah dan para malaikatnya.

Allah dan para malaikat menginginkan agar kita melawan Setan, dan kita terus didukung untuk hal itu. Maka kalau berhasil menang dari pertempuran ajakan Setan untuk berpartisipasi dalam perayaan ibadah agama lain, maka kita telah memenangkan diri kita dan menyenangkan para suporter kita.

Maka tinggalkanlah segala yang Allah dan Rasul-Nya larang atasmu. jangan biarkan dirimu dikalahkan oleh rayuan Setan yang terkutuk.

Tetaplah pada prinsip, "Lakum Dinukum Wa Liyadin" (Bagimu Agamamu, dan Bagiku Agamaku).
Kalau bukan Allah yang kita taati, lalu siapa lagi.
Kalau bukan mulai dari sekarang, lalu kapan lagi.
Ajal tidak menanti taubat mu, tetapi kita lah yang bersiap diri dijemput olehnya nanti.

Tetaplah pada prinsip, "Lakum Dinukum Wa Liyadin."
Saudaramu, Salam el-Fath.

MEMBANTU, MENJUAL, DAN MENGHADIRI PERAYAAN IBADAH ORANG LAIN ADALAH HARAM.

Pada masa Jahiliyah, di Madinah ada berhala bernama Zur. Setiap tahun, orang-orang musyrik mengadakan hari raya keagamaan di area patung tersebut selama satu minggu. Setelah Islam datang, ketika orang-orang musyrik mengadakan hari raya keagamaan, para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melewati tempat itu mereka menjaga kehormatan diri mereka dengan tidak melihat patung dan orang-orang yang ada di situ. Sikap para sahabat tersebut direspon dan dipuji oleh Allah dalam al-Qur’an ayat:
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (72)
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan zur (kepalsuan), dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS al-Furqan : 72).
Ayat di atas membicarakan tentang sifat-sifat orang-orang yang beriman kepada Allah yang disebut dengan ‘ibadurrahman (hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih). Di antara sifat mereka adalah tidak menyaksikan, tidak menghadiri dan tidak mendatangi zur atau kepalsuan. Demikian penjelasan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan dikutip oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya al-Durr al-Mantsur. Oleh karena itu, para ulama salaf menafsirkan ayat di atas dengan penafsiran beragam secara redaksional, akan tetapi kemiliki keserasian dan kesatuan dalam pengertian.
Dalam satu riwayat, Ibnu Abbas dan al-Dhahhak, menafsirkan ayat tersebut, dengan arti tidak menghadiri acara-acara hari raya orang-orang Musyrik. Lebih tegas lagi, penafsiran Imam Qatadah:
وَأخرج عبد بن حميد وَابْن أبي حَاتِم عَن قَتَادَة رَضِي الله عَنهُ {وَالَّذين لاَ يشْهدُونَ الزُّور} قَالَ: لاَ يساعدون أهل الْبَاطِل على باطلهم وَلاَ يمالؤنهم فِيهِ
Abd bin Humaid dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Qatadah radhiyallaahu ‘anhu: “(Dan orang-orang yang tidak menyaksikan zur (kepalsuan)”. Qatadah berkata: “Mereka tidak membantu pengikut kebatilan atas kebatilan mereka dan tidak menolong mereka dalam hal kebatilan tersebut.” (Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, juz 6 hlm 282-283).
وأخرج أبو القاسم اللالكائي عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ: {وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ} [الفرقان: 72] قَالَ: لاَ يُمَالِئُونَ أَهْلَ الشِّرْكِ عَلَى شِرْكِهِمْ وَلاَ يُخَالِطُونَهُمْ.
Abu al-Qasim al-Lalaka’i meriwayatkan dari Amr bin Murrah (ulama salaf): “(Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan) maksudnya tidak membantu orang-orang musyrik atas kesyirikan mereka dan tidak bergabung dengan mereka.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, juz 3 hlm 1245).
Dari beberapa versi penafsiran ulama salaf di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ketika orang-orang Musyrik mengadakan hari raya keagamaan, maka orang-orang beriman yang selalu mengharapkan kasih sayang Allah, tidak akan menghadiri, menonton dan membantu acara keagamaan tersebut. Secara tidak langsung, ayat di atas menjadi larangan bagi kaum beriman untuk menghadiri, melihat dan membantu acara hari raya kaum musyrik. Pertanyaannya sekarang adalah, larangan menghadiri, menyaksikan, menonton dan membantu acara hari raya keagamaan agama lain di atas, apakah bersifat makruh saja, atau justru haram?
Jawaban dari pertanyaan di atas, akan dapat diketahuhi dengan mudah apabila kita mengetahui alasan pelarangan tersebut. Dalam konteks ini, al-Imam Fakhruddin al-Razi ketika menafsirkan ayat di atas memberikan penjelasan sebagai berikut:
الزُّورُ يَحْتَمِلُ إِقَامَةَ حُضُورَ كُلِّ مَوْضِعٍ يَجْرِي فِيهِ مَا لاَ يَنْبَغِي وَيَدْخُلُ فِيهِ أَعْيَادُ الْمُشْرِكِينَ وَمَجَامِعُ الْفُسَّاقِ، لأَنَّ مَنْ خَالَطَ أَهْلَ الشَّرِّ وَنَظَرَ إِلَى أَفْعَالِهِمْ وَحَضَرَ مَجَامِعَهُمْ فَقَدْ شَارَكَهُمْ فِي تِلْكَ الْمَعْصِيَةِ، لأَنَّ الْحُضُورَ وَالنَّظَرَ دَلِيلُ الرِّضَا بِهِ، بَلْ هُوَ سَبَبٌ لِوُجُودِهِ وَالزِّيَادَةِ فِيهِ، لأَنَّ الَّذِي حَمَلَهُمْ عَلَى فِعْلِهِ اسْتِحْسَانُ النَّظَّارَةِ وَرَغْبَتُهُمْ فِي النَّظَرِ إِلَيْهِ.
“Kata zur dalam ayat tersebut berkemungkinan menghadiri setiap tempat yang terjadi sesuatu yang tidak patut, dan masuk pula di dalamnya hari raya orang-orang musyrik dan tempat perkumpulan orang-orang fasiq. Karena orang yang bergabung dengan orang-orang yang buruk, melihat perbuatan mereka, dan menghadiri perkumpulan mereka berarti benar-benar ikut andil dengan mereka dalam kemaksiatan tersebut. Karena menghadiri dan menyaksikan termasuk bukti kerelaan terhadapnya. Bahkan menghadiri dan memandang merupakan sebab keberadaan dan perkembangannya. Karena suatu hal yang mendorong mereka untuk melakukannya adalah anggapan baik menonton dan keinginan mereka menyaksikannya.” (Al-Imam al-Razi, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 24 hlm 98-99).
Dalam paparan al-Imam al-Razi di atas dijelaskan, bahwa larangan menghadiri, menonton, melihat dan membantu hari raya orang-orang musyrik, karena hal tersebut menjadi bukti kerelaan terhadap kemaksiatan dan kesyirikan. Sedangkan rela terhadap kemaksiatan adalah maksiat. Sebagaimana rela terhadap kekufuran adalah kufur. Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, menyampaikan kaedah baku dalam madzhab Syafi’i sebagai berikut:
اَلرِّضَا بِالْكُفْرِ كُفْرٌ وَلَوْ ضِمْنًا
“Rela terhadap kekafiran adalah kafir, meskipun kerelaan tersebut bersifat implisit.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam, hlm 133).
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa larangan menghadiri, menonton dan membantu acara hari raya orang-orang musyrik adalah haram. Bahkan termasuk bukti kerelaan terhadap kekafiran yang hukumnya adalah kafir. Oleh karena itu, para ulama telah berijma’ tentang keharaman menghadiri, menonton dan membantu acara hari raya orang-orang musyrik. Dalam konteks ini Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali berkata:
حُكْمُ حُضُورِ أَعْيَادِ أَهْلِ الْكِتَابِ ... لاَ يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ مُمَالأَتُهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ مُسَاعَدَتُهُمْ وَلاَ الْحُضُورُ مَعَهُمْ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ الْعِلْمِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهُ.
“Hukum menghadiri hari raya Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nasrani) ... Kaum Muslimin tidak boleh membantu mereka, memberikan pertolongan dan hadir bersama mereka berdasarkan kesepakatan ahli ilmu agama yang memang ahli di bidangnya.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, juz 3 hlm 1245).
Kemudian beliau mengutip pernyataan seorang ulama madzhab Syafi’i, yaitu al-Imam al-Hafizh Abu al-Qasim Hibatullah bin al-Hasan bin Manshur al-Thabari al-Syafi’i yang berkata:
وَلاَ يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ أَنْ يَحْضُرُوا أَعْيَادَهُمْ؛ لأَنَّهُمْ عَلَى مُنْكَرٍ وَزُورٍ، وَإِذَا خَالَطَ أَهْلُ الْمَعْرُوفِ أَهْلَ الْمُنْكَرِ بِغَيْرِ اْلإِنْكَارِ عَلَيْهِمْ كَانُوا كَالرَّاضِينَ بِهِ الْمُؤْثِرِينَ لَهُ، فَنَخْشَى مِنْ نُزُولِ سُخْطِ اللهِ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ فَيَعُمُّ الْجَمِيعَ، نَعُوذُ بِاللهِ مِنْ سُخْطِهِ.
“Kaum Muslimin tidak boleh menghadiri hari raya mereka, karena sesungguhnya mereka berada pada kemungkaran dan kepalsuan. Apabila orang-orang baik bergabung dengan orang-orang yang melakukan kemungkaran dengan tanpa mengingkari kemungkaran tersebut, maka berarti mereka seperti orang-orang yang rela terhadap kemunkaran tersebut dan bahkan mengutamakan kemungkaran itu. Kami mengkhawatirkan turunnya murka Allah kepada perkumpulan mereka, maka kemurkaan itu akan merata kepada semuanya. Kami berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya.”
Al-Imam al-Baihaqi meriwayatkan beberapa pernyataan kaum salaf tentang larang menghadiri hari raya orang-orang musyrik sebagai berikut:
عَنْ عَطَاءِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ قَالَ عُمَرُ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ : لاَ تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الأَعَاجِمِ وَلاَ تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِى كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ.
“Atha’ bin Dinar berkata: “Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Janganlah kalian mempelajari bahasa kaum Ajam, dan jangan memasuki gereja-gereja orang-orang musyrik pada hari raya mereka, karena kemurkaan akan turun pada mereka.”
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللهِ فِى عِيدِهِمْ.
“Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Jauhilah musuh-musuh Allah dalam hari raya mereka.”
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : مَنْ بَنَى بِبِلاَدِ الأَعَاجِمِ وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Abdullah bin Amr berkata: “Barangsiapa yang membangun rumah di negeri-negeri Ajami, mengadakan acara tahun baru mereka dan festifal mereka, dan menyerupai mereka hingga mati dalam keadaan demikian, maka akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat.” (Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra juz 9 hlm 392).
Kesimpulan dari paparan di atas, menghadiri, melihat, menonton dan membantu acara hari raya orang-orang musyrik, Yahudi, Nasrani dan lain-lain hukumnya adalah haram dan termasuk bukti kerelaan terhadap kemaksiatan. Rela terhadap kemaksiatan adalah maksiat. Rela terhadap kekafiran adalah kafir.
Tulisan ini tidak dibuat sebagai bentuk kebencian kepada saudara-saudaraku yang ingin menjaga kegiatan natalan. Tetapi tulisan ini dibuat sebagai kasih sayang dan menginginkan semuanya tetap dalam koridor ajaran Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah yang disebarkan oleh para pendahulu di tanah air. Wallahu a’lam.
*KH. Muhammad Idrus Ramli*

MAKALAH POSTMODERNISME



A.    Pendahuluan
Positivisme adalah filsafat awal dan dasar munculnya ilmu pengetahuan serta hadir sebagai kritik atas pemahaman yang menjamur pada abad pertengahan yaitu metafisik. Positivisme mendasarkan pembuktian kebenaran menurut metodologi ilmiyah yang dapat diamati dan diukur selanjutnya menjadi hukum-hukum yang menjadi acuan pokok dalam mencari kebenaran yang dirangkum menjadi hukum alam. Berbeda dengan metafisik yang tidak dapat diamati dan diukur karena pencarian kebenaran berdasarkan akal budi manusia. Perbedaan pengalaman manusia akan menjadi perbedaan dalam menentukan kebenaran, sehingga pada metafisik kebenaran bersifat abstrak.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dipromotori oleh seorang sosiolog asal prancis yaitu Auguste Comte. Paradigma ini terbukti ampuh dan digunakna banyak ilmuan untuk mengungkap kebenaran realitas dalam kurun waktu yang cukup lama (+ 400 tahun)[1] walau terdapat berapa kelemahan dalam teori ini diantaranya adalah tidak dapat menjangkau kajian metafisika.
Makalah ini akan membahas teori filsafat positivisme Auguste Comte meliputi biografi tokoh serta sebab-musabab munculnya teori filsafat ini.

B.     Biografi Auguste Comte
Bapak positivisme, Auguste Comte memiliki nama panjang Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte. Ia lahir di Montpellier Prancis pada tanggal 19 Januari 1798 dari keluarga bangsawan katolik. Namun, ia tidak mengikuti kepercayaan keluarganya yaitu agama katolik sejak usia muda, ia mendeklarasikan dirinya seorang atheis. Comte kecil mengenyam pendidikan lokal di Montpellier dan mendalami matematika. Pada usia ke 25 tahun ia hijrah ke Paris dan belajar di Echole Polytechnique dalam bidang psikologi dan kedokteran.[2]Selain itu, di Paris ia juga mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog.[3]
Comte adalah mahasiswa yang brillian, namun ia tidak berhasil menamatkan studi di perguruan tinggi. Ia adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Ia dikeluarkan karena gagasan politik dan pemberontakan dengan teman sekelasnya. Selain dikenal dengan sifat pemberontak dan keras kepala, Comte  juga dikenal sebagai mahasiswa yang berfikiran bebas dan memiliki kemauan keras untuk tidak ingin berada di bawah posisi orang lain yang kemungkinan besar akan mengaturnya. Comte hidup pada masa Revolusi Perancis, rezim Napoleon, pergantian monarki dan periode republik dimana pergolakan sosial-politik terjadi cukup hebat. Hal tersebut yang melatar belakangi pemikiran Comte. Walau mengalami masa yang sulit ia tetap bekerja keras diantaranya dengan memberi les matematika dan aktif menulis. Dari sinilahlah, karir profesional Comte dimulai.[4]
Pada tahun 1817, Comte menjadi sekretaris Simon sekaligus menjadi anak angkatnya.[5] Pertemuan dengan Simon banyak mempengaruhi perkembangan intelektual Comte bahkan membuatnya yang semula berlatar belakang eksakta “hijrah” dan mulai mengkaji bidang-bidang sosial. Perpindahannya ke dalam kajian bidang sosial pada dasarnya bukan semata-mata terjadi karena bertemu Simon, namun sudah menjadi bagian dari kegundahannya sejak di bangku perkuliahan dan semakin berkembang saat bertemu dengan Simon. Dalam kajian ilmu sosial comte sependapat dengan pendapat Simon bahwa perkembangan manusia bisa dilakukan dengan perkembangan ilmu pengatahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya.[6] Dari sinilah Comte mulai mengajar filsafat positifistik di luar pendidikan resmi dan mendirikan masyarakat positivistik.
Delapan tahun sejak pertemuan dan pengabdiannya dengan Simon tepatnya pada tahun 1824, Comte memutuskan untuk tidak lagi mengikutinya. Hal tersebut didasarkan karena Simon menghapuskan namanya dari salah satu karya sumbangannya. Sejak saat itu Comte memulai menjalani kehidupan intelktualnya sendiri menjadi dosen penguji, pembimbing dan mengajar mahasiswa secara privat. Pada tahun 1852, Comte menyatakan bahwa ia tak lagi memilki hutang apapun terhadap Saint Simon. Kehidupan Comte tidak berjalan mulus, selain penghasilan yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya karya yang disusunnya  juga terbengkalai. Comte mengalami tekanan psikoogi yang hebat, bahkan menurut Ope dalam “Tradisi Aliran dalam Sosiologi” menceritakan bahwa tidak jarang perdebatan yang dilalui oleh comte berakhir dengan perkelahian.
Tekanan demi tekanan membuat Comte semakin terpuruk, bahkan sampai membuatnya dirinya nekat dan menceburkan diri ke sungai. Di tengah keterpurukannya datanglah Caroline Massin, seorang pekerja seks yang tampa pamrih merawat comte. Dalam merawat Comte, Caroline tidak hanya terbebani secara materil namun Comte juga tak kunjung berubah hingga akhirnya ia meninggalkannya dan Comte kembali pada kegilaannya. Di akhir usianya Comte mengalami ganguan jiwa dan wafat di Paris pada 1857.[7]






C.    Teori Positivisme Auguste Comte
Teori positivisme bermula dari munculnya hukum tiga tahap ( Law of Three Stages) dari Auguste Comte. Melalui hukum ini ia menyatakan bahwa sejarah umat manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, telah  berkembang menurut tiga tahapan, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau ilmiah atau riel . Pengertian “perkembangan” yang merupakan proses dari berlangsungnya sejarah umat manusia, diberi isi dan arti yang “positif”, dalam arti sebagai suatu gerakan “perkembangan” yang menuju ke tingkatan yang lebih tinggi dan lebih maju. Baginya, “perkembangan” itu merupakan penjabaran segala sesuatu sampai kepada objeknya yang tidak  personal.[8]
Dr. Koento Wibisono mengatakan, bahwa menurut Auguste Comte, sejarah umat, juga jiwa manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi, tahap metafisik, dan tahap positif

1.      Tahapan teologi atau fiktif
Dalam tahap ini, manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir dari segala sesuatu yang ada. Gejala atau fenomena di alam yang selalu menarik manusia untuk mengetahuinya dan mengaitkan hal tersebut dan meletakkannya dengan sesuatu yang mutlak. Dengan adanya rasa keingintahuan itu, sehingga manusia selalu berusaha untuk mempertanyakan hal-hal yang paling sukar, sejalan dengan tingkah laku dan  perbuatannya. Hal ini disebabkan oleh rasa keingintahuan manusia yang tanpa  batas dan manusia harus dapat mengetahui jawaban dari hal yang mudah sampai  pada hal yang paling sulit untuk dijawab. Menurut Auguste Comte, tahap teologi ini tidak akan muncul begitu saja, akan tetapi akan muncul melalui tahapan-tahapan, yaitu fetisyisme, politeisme, dan monoteisme.
a.       Fetisyisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Bahkan, segala sesuatu tersebut akan berpengaruh ke dalam kehidupan manusia itu, sehingga manusia itu akan menyesuaikan dirinya kepada lingkungannya
b.      Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa daya  pengaruh itu tidak lagi berasal dari benda-benda yang ada di sekeliling manusia, akan tetapi dari benda-benda atau makhluk-makhluk yang tidak kelihatan yang berada di sekitarnya. Dalam  bentuk kehidupan ini, timbul kepercayaan akan sesuatu di diri manusia, bahwa setiap benda, setiap gejala atau peristiwa alam dikuasai oleh dewanya masing-masing. Sehingga untuk keselamatan dirinya, manusia harus menyembah para dewa tersebut dengan melakukan suatu ritual penyembahan.
c.       Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa  pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari dewa-dewa, akan tetapi dari satu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan yang satu
2.      Tahapan metafisik atau abstrak
Dengan berakhirnya tahap monoteisme, maka berakhir juga tahap teologi. Hal ini dikarenakan manusia mulai merubah pola pikirnya dalam usahanya untuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala alam. Sehingga dogma agama akan ditinggalkan, dan kemampuan akal akan dikembangkan.
Menurut Auguste Comte, walaupun dalam tahap metafisik ini jiwa manusia masih menunjukkan hal yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukan dalam tahap teologi, namun pada tahap ini manusia sudah mampu melepaskan dirinya dari kekuatan adikodrati, dan beralih pada kekuatan abstraksinya. Oleh sebab itu, pada tahap ini jiwa manusia akan sering mengalami konflik, karena di satu pihak, pengaruh teologik masih dapat dirasakan, dan di pihak lain, kemampuan berabstraksi (berpikir) yang dirasakan sebagai “pembebasan” kekuatan yang datang dari luar itu terus berkembang. Dalam perkembangannya itu, akal budi akan menjadi kekuatan satu-satunya yang digunakan manusia untuk menerangkan adanya segala sesuatu, sehingga berkat kemampuan berabstraksi tadi, manusia mampu pula menerangkan hakikat atau substansi dari segala sesuatu yang ada. Oleh sebab itu, pada tahap ini istilah ontologi mulai digunakan
3.      Tahap Positif atau riel
Dalam perkembangan jiwa manusia, pada batas bahwa manusia tidak lagi merasa puas dengan hal-hal yang abstrak, manusia akan merasa lebih dekat dengan hal-hal atau gejala-gejala yang dapat diterangkan melalui pengamatan  berlandaskan hukum-hukum umum yang deskriptif, seperti hukum gaya tarik  bumi atau gravitasi. Tahap ini adalah akhir dari perkembangan jiwa manusia. Ini adalah tahap pembebasan yang sebenarnya, yang tidak lagi dipengaruhi oleh kekuatan atau pengertian adikodrati atau metafisik. Dengan menjadi matangnya  jiwa manusia, maka manusia tidak lagi merasa terbantu oleh pengetahuan abstrak, akan tetapi yang diperlukan sekarang adalah pengetahuan yang nyata, yang dapat dicapai melalui pengamatan, percobaan, perbandingan, dan berlandaskan hukum-hukum yang umum.[9]
Auguste Comte melihat bahwa tahap positif ini sebagai tahap  perkembangan masyarakat di saat masa industrialisasi sudah dapat dikembangkan, disertai dengan peranan pada ilmuwan dan industrialis yang bersama-sama mengatur masyarakat secara ilmiah.[10]
Dr. Koento Wibisono mengatakan, bahwa dalam karya Comte yang  berjudul “Discours sur Lesprit Positif”, secara eksplisit Comte menerangkan bahwa yang dimaksud dengan pengertian “positif” itu adalah
1.         Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayalan, maka pengertian “positif” pertama-tama diartikan sebagai pensifatan akan sesuatu yang nyata. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan  bahwa filsafat positivisme itu, dalam menyelidiki objek sasarannya didasarkan pada kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak akan dijadikan sasaran penyelidikan.
2.         Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyataan bahwa di dalam filsafat positivisme, segala sesuatu harus diarahkan kepada  pencapaian kemajuan. Filsafat tidak berhenti sampai di pemenuhan keinginan manusia untuk memperoleh pengetahuan mengenai sesuatu saja, akan tetapi filsafat harus digunakan untuk mencapai kemajuan di masyarakat.
3.         Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat harus sampai  pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat.
4.         Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur atau buram, maka  pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa dalam  pemikiran filosofis, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenai gejala-gejala yang tampak maupun mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan, sebab cara berfilsafat yang lama hanya memberikan pedoman yang tidak jelas, dan hanya mempertahankan disiplin yang diperlukan dengan mendasarkan diri pada kekuatan adikodrati.
5.         Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif, maka pengertian “positif” dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafatnya yang selalu menuju ke arah penataan atau penertiban.
Pengertian “positif” oleh Auguste Comte digunakan untuk menunjukkan ciri khas dan metode yang sesuai dengan kekhassan itu, yaitu berbeda dengan  pandangan filsafat lama yang bercorak teologik dan metafisik.[11]
Dr. Koento selanjutnya mengatakan, bahwa metode yang digunakan oleh Auguste Comte dalam menjelaskan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas gejala-gejala yang paling sederhana, umum atau abstrak, menuju ke tingkat gejala-gejala yang semakin jelas, khusus dan konkret yang dihadapi oleh masing-masing ilmu, digunakan tiga metode, yaitu pengamatan (observation), percobaan (experiment ), dan perbandingan (comparison). Akan tetapi, dalam menghadapi gejala-gejala dalam fisika sosial (sosiologi), Comte menambahkan satu metode, yaitu metode pendekatan sejarah (historical approach).[12]


D.    Kesimpulan
Positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenarannya” bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Menurut Comte,  ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte juga menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta, Dalam filsafat Positifisme comte juag memaparkan tiga tahap perkembangan pemikiran manusia yaitu teologis/fiktif, metafisis dan positif


















DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali Pers.2014)
Comte, Auguste, The Positive Philosophy, diterjemahkan oleh Harriet Martineau (London: Batoche Books, 2000)
Hardiman ,F. Budi,Filsafat Modern Dari Machievelli Sampai Niestzsche (Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama, 2004)
Muslih , Muhamad, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Belukar, 2004)
Upe , Ambo,Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post positivistik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010)
Wibisono, Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Count, (Yogjakarta: Gadjah Mada university Press, 1983)









[1] Muhamad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Belukar, 2004), Hal 96
[2] Ambo Upe,Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post positivistik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010),Hal 70
[3] F. Budi Hardiman,Filsafat Modern Dari Machievelli Sampai Niestzsche (Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama, 2004),Hal 179
[4] Upe,Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post positivistik ,Hal 70.
[5] Ibid.,Hal 71
[6] Upe,Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post positivistik ,Hal 72
[7] Hardiman,Filsafat Moderen Dari Machievelli Sampai Niestzsche,Hal 197

[8] Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Count, (Yogjakarta: Gadjah Mada university Press, 1983), Hal 1-2
[9]  Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali Pers.2014), Hal 11-15
[10] Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte,Hal. 16. Lihat juga Auguste Comte, The Positive Philosophy, diterjemahkan oleh Harriet Martineau (London: Batoche Books, 2000), vol. 1,Hal. 27-31

[11] Ibid,Hal 37-38
[12] Ibid,Hal 39