A.
Pendahuluan
Positivisme adalah filsafat awal dan dasar munculnya ilmu
pengetahuan serta hadir sebagai kritik atas pemahaman yang menjamur pada abad
pertengahan yaitu metafisik. Positivisme mendasarkan pembuktian kebenaran
menurut metodologi ilmiyah yang dapat diamati dan diukur selanjutnya menjadi
hukum-hukum yang menjadi acuan pokok dalam mencari kebenaran yang dirangkum
menjadi hukum alam. Berbeda dengan metafisik yang tidak dapat diamati dan
diukur karena pencarian kebenaran berdasarkan akal budi manusia. Perbedaan
pengalaman manusia akan menjadi perbedaan dalam menentukan kebenaran, sehingga
pada metafisik kebenaran bersifat abstrak.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dipromotori oleh seorang
sosiolog asal prancis yaitu Auguste Comte. Paradigma ini terbukti ampuh dan
digunakna banyak ilmuan untuk mengungkap kebenaran realitas dalam kurun waktu
yang cukup lama (+ 400 tahun) walau
terdapat berapa kelemahan dalam teori ini diantaranya adalah tidak dapat
menjangkau kajian metafisika.
Makalah ini akan membahas teori filsafat positivisme Auguste
Comte meliputi biografi tokoh serta sebab-musabab munculnya teori filsafat ini.
B.
Biografi Auguste Comte
Bapak positivisme, Auguste Comte memiliki nama panjang
Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte. Ia lahir di Montpellier Prancis
pada tanggal 19 Januari 1798 dari keluarga bangsawan katolik. Namun, ia tidak
mengikuti kepercayaan keluarganya yaitu agama katolik sejak usia muda, ia
mendeklarasikan dirinya seorang atheis. Comte kecil mengenyam pendidikan lokal
di Montpellier dan mendalami matematika. Pada usia ke 25 tahun ia hijrah ke
Paris dan belajar di Echole Polytechnique dalam bidang psikologi dan
kedokteran.Selain
itu, di Paris ia juga mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog.
Comte adalah mahasiswa yang brillian, namun ia tidak
berhasil menamatkan studi di perguruan tinggi. Ia adalah mahasiswa yang keras
kepala dan suka memberontak. Ia dikeluarkan karena gagasan politik dan
pemberontakan dengan teman sekelasnya. Selain dikenal dengan sifat pemberontak
dan keras kepala, Comte juga dikenal sebagai mahasiswa yang berfikiran
bebas dan memiliki kemauan keras untuk tidak ingin berada di bawah posisi orang
lain yang kemungkinan besar akan mengaturnya. Comte hidup pada masa Revolusi Perancis,
rezim Napoleon, pergantian monarki dan periode republik dimana pergolakan
sosial-politik terjadi cukup hebat. Hal tersebut yang melatar belakangi
pemikiran Comte. Walau mengalami masa yang sulit ia tetap bekerja keras
diantaranya dengan memberi les matematika dan aktif menulis. Dari sinilahlah, karir
profesional Comte dimulai.
Pada tahun 1817, Comte menjadi sekretaris Simon sekaligus
menjadi anak angkatnya.
Pertemuan dengan Simon banyak mempengaruhi perkembangan intelektual Comte
bahkan membuatnya yang semula berlatar belakang eksakta “hijrah” dan mulai
mengkaji bidang-bidang sosial. Perpindahannya ke dalam kajian bidang sosial
pada dasarnya bukan semata-mata terjadi karena bertemu Simon, namun sudah
menjadi bagian dari kegundahannya sejak di bangku perkuliahan dan semakin
berkembang saat bertemu dengan Simon. Dalam kajian ilmu sosial comte sependapat
dengan pendapat Simon bahwa perkembangan manusia bisa dilakukan dengan
perkembangan ilmu pengatahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Dari
sinilah Comte mulai mengajar filsafat positifistik di luar pendidikan resmi dan
mendirikan masyarakat positivistik.
Delapan tahun sejak pertemuan dan pengabdiannya dengan Simon
tepatnya pada tahun 1824, Comte memutuskan untuk tidak lagi mengikutinya. Hal
tersebut didasarkan karena Simon menghapuskan namanya dari salah satu karya
sumbangannya. Sejak saat itu Comte memulai menjalani kehidupan intelktualnya
sendiri menjadi dosen penguji, pembimbing dan mengajar mahasiswa secara privat.
Pada tahun 1852, Comte menyatakan bahwa ia tak lagi memilki hutang apapun
terhadap Saint Simon. Kehidupan Comte tidak berjalan mulus, selain penghasilan
yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya karya yang disusunnya
juga terbengkalai. Comte mengalami tekanan psikoogi yang hebat, bahkan
menurut Ope dalam “Tradisi Aliran dalam Sosiologi” menceritakan bahwa tidak
jarang perdebatan yang dilalui oleh comte berakhir dengan perkelahian.
Tekanan demi tekanan membuat Comte semakin terpuruk, bahkan
sampai membuatnya dirinya nekat dan menceburkan diri ke sungai. Di tengah
keterpurukannya datanglah Caroline Massin, seorang pekerja seks yang tampa
pamrih merawat comte. Dalam merawat Comte, Caroline tidak hanya terbebani
secara materil namun Comte juga tak kunjung berubah hingga akhirnya ia meninggalkannya
dan Comte kembali pada kegilaannya. Di akhir usianya Comte mengalami ganguan
jiwa dan wafat di Paris pada 1857.
C.
Teori
Positivisme Auguste Comte
Teori positivisme bermula dari
munculnya hukum tiga tahap ( Law of Three Stages) dari Auguste Comte.
Melalui hukum ini ia menyatakan bahwa sejarah umat manusia, baik secara
individual maupun secara keseluruhan, telah berkembang menurut tiga
tahapan, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan
tahap positif atau ilmiah atau riel . Pengertian “perkembangan” yang
merupakan proses dari berlangsungnya sejarah umat manusia, diberi isi dan arti
yang “positif”, dalam arti sebagai suatu gerakan “perkembangan” yang menuju ke
tingkatan yang lebih tinggi dan lebih maju. Baginya, “perkembangan” itu
merupakan penjabaran segala sesuatu sampai kepada objeknya yang tidak
personal.
Dr. Koento Wibisono mengatakan, bahwa menurut Auguste Comte,
sejarah umat, juga jiwa manusia, baik secara individual maupun secara
keseluruhan, berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi, tahap
metafisik, dan tahap positif
1.
Tahapan teologi
atau fiktif
Dalam tahap ini, manusia selalu
berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir dari
segala sesuatu yang ada. Gejala atau fenomena di alam yang selalu menarik
manusia untuk mengetahuinya dan mengaitkan hal tersebut dan meletakkannya
dengan sesuatu yang mutlak. Dengan adanya rasa keingintahuan itu, sehingga
manusia selalu berusaha untuk mempertanyakan hal-hal yang paling sukar, sejalan
dengan tingkah laku dan perbuatannya. Hal ini disebabkan oleh rasa
keingintahuan manusia yang tanpa batas dan manusia harus dapat mengetahui
jawaban dari hal yang mudah sampai pada hal yang paling sulit untuk
dijawab. Menurut Auguste Comte, tahap teologi ini tidak akan muncul begitu
saja, akan tetapi akan muncul melalui tahapan-tahapan, yaitu
fetisyisme, politeisme, dan monoteisme.
a. Fetisyisme, yaitu suatu bentuk
kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai
anggapan, bahwa segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia mempunyai
suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Bahkan, segala sesuatu
tersebut akan berpengaruh ke dalam kehidupan manusia itu, sehingga manusia itu
akan menyesuaikan dirinya kepada lingkungannya
b. Politeisme, yaitu suatu bentuk
kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai
anggapan, bahwa daya pengaruh itu tidak lagi berasal dari benda-benda
yang ada di sekeliling manusia, akan tetapi dari benda-benda atau
makhluk-makhluk yang tidak kelihatan yang berada di sekitarnya. Dalam
bentuk kehidupan ini, timbul kepercayaan akan sesuatu di diri manusia,
bahwa setiap benda, setiap gejala atau peristiwa alam dikuasai oleh dewanya
masing-masing. Sehingga untuk keselamatan dirinya, manusia harus menyembah para
dewa tersebut dengan melakukan suatu ritual penyembahan.
c. Monoteisme, yaitu suatu bentuk
kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai
anggapan bahwa pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari
dewa-dewa, akan tetapi dari satu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan yang
satu
2.
Tahapan metafisik atau abstrak
Dengan berakhirnya tahap monoteisme, maka berakhir
juga tahap teologi. Hal ini dikarenakan manusia mulai merubah pola pikirnya
dalam usahanya untuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan gejala alam. Sehingga dogma agama akan ditinggalkan, dan
kemampuan akal akan dikembangkan.
Menurut Auguste Comte, walaupun dalam tahap
metafisik ini jiwa manusia masih menunjukkan hal yang tidak berbeda dengan apa
yang dilakukan dalam tahap teologi, namun pada tahap ini manusia sudah mampu
melepaskan dirinya dari kekuatan adikodrati, dan beralih pada kekuatan
abstraksinya. Oleh sebab itu, pada tahap ini jiwa manusia akan sering mengalami
konflik, karena di satu pihak, pengaruh teologik masih dapat dirasakan, dan di
pihak lain, kemampuan berabstraksi (berpikir) yang dirasakan sebagai
“pembebasan” kekuatan yang datang dari luar itu terus berkembang. Dalam
perkembangannya itu, akal budi akan menjadi kekuatan satu-satunya yang
digunakan manusia untuk menerangkan adanya segala sesuatu, sehingga berkat
kemampuan berabstraksi tadi, manusia mampu pula menerangkan hakikat atau
substansi dari segala sesuatu yang ada. Oleh sebab itu, pada tahap ini istilah
ontologi mulai digunakan
3.
Tahap Positif atau riel
Dalam perkembangan jiwa manusia,
pada batas bahwa manusia tidak lagi merasa puas dengan hal-hal yang abstrak,
manusia akan merasa lebih dekat dengan hal-hal atau gejala-gejala yang dapat
diterangkan melalui pengamatan berlandaskan hukum-hukum umum yang
deskriptif, seperti hukum gaya tarik bumi atau gravitasi. Tahap ini
adalah akhir dari perkembangan jiwa manusia. Ini adalah tahap pembebasan yang
sebenarnya, yang tidak lagi dipengaruhi oleh kekuatan atau pengertian
adikodrati atau metafisik. Dengan menjadi matangnya jiwa manusia, maka
manusia tidak lagi merasa terbantu oleh pengetahuan abstrak, akan tetapi yang diperlukan
sekarang adalah pengetahuan yang nyata, yang dapat dicapai melalui pengamatan,
percobaan, perbandingan, dan berlandaskan hukum-hukum yang umum.
Auguste Comte melihat bahwa tahap
positif ini sebagai tahap perkembangan masyarakat di saat masa industrialisasi
sudah dapat dikembangkan, disertai dengan peranan pada ilmuwan dan industrialis
yang bersama-sama mengatur masyarakat secara ilmiah.
Dr. Koento Wibisono mengatakan, bahwa dalam karya Comte yang
berjudul “Discours sur Lesprit Positif”, secara eksplisit Comte
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan pengertian “positif” itu adalah
1.
Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayalan,
maka pengertian “positif” pertama-tama diartikan sebagai pensifatan akan
sesuatu yang nyata. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa
filsafat positivisme itu, dalam menyelidiki objek sasarannya didasarkan pada
kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak akan
dijadikan sasaran penyelidikan.
2.
Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat,
maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat.
Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyataan bahwa di dalam filsafat
positivisme, segala sesuatu harus diarahkan kepada pencapaian kemajuan. Filsafat
tidak berhenti sampai di pemenuhan keinginan manusia untuk memperoleh
pengetahuan mengenai sesuatu saja, akan tetapi filsafat harus digunakan untuk
mencapai kemajuan di masyarakat.
3.
Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka
pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti. Hal
ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat harus sampai
pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap
individu dan masyarakat.
4.
Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur atau buram,
maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas
atau tepat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa dalam
pemikiran filosofis, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas
atau tepat, baik mengenai gejala-gejala yang tampak maupun mengenai apa yang
sebenarnya dibutuhkan, sebab cara berfilsafat yang lama hanya memberikan
pedoman yang tidak jelas, dan hanya mempertahankan disiplin yang diperlukan
dengan mendasarkan diri pada kekuatan adikodrati.
5.
Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif, maka
pengertian “positif” dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan
filsafatnya yang selalu menuju ke arah penataan atau penertiban.
Pengertian “positif” oleh Auguste Comte digunakan untuk
menunjukkan ciri khas dan metode yang sesuai dengan kekhassan itu, yaitu
berbeda dengan pandangan filsafat lama yang bercorak teologik dan
metafisik.
Dr. Koento selanjutnya mengatakan,
bahwa metode yang digunakan oleh Auguste Comte dalam menjelaskan ilmu
pengetahuan yang didasarkan atas gejala-gejala yang paling sederhana, umum atau
abstrak, menuju ke tingkat gejala-gejala yang semakin jelas, khusus dan konkret
yang dihadapi oleh masing-masing ilmu, digunakan tiga metode, yaitu pengamatan
(observation), percobaan (experiment ), dan perbandingan (comparison).
Akan tetapi, dalam menghadapi gejala-gejala dalam fisika sosial (sosiologi),
Comte menambahkan satu metode, yaitu metode pendekatan sejarah (historical
approach).[12]
D.
Kesimpulan
Positivisme secara
terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenarannya”
bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal
diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Menurut Comte, ilmu pengetahuan tidak boleh
melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte juga menanyakan
hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti
apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki
fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta, Dalam filsafat Positifisme comte
juag memaparkan tiga tahap perkembangan pemikiran manusia yaitu teologis/fiktif,
metafisis dan positif
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali Pers.2014)
Comte, Auguste, The Positive
Philosophy, diterjemahkan oleh Harriet Martineau (London: Batoche Books, 2000)
Hardiman ,F. Budi,Filsafat Modern Dari Machievelli Sampai
Niestzsche (Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama, 2004)
Muslih , Muhamad, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit
Belukar, 2004)
Upe , Ambo,Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi Posivistik ke Post
positivistik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010)
Wibisono,
Koento, Arti Perkembangan Menurut
Filsafat Positivisme Auguste Count, (Yogjakarta: Gadjah Mada university
Press, 1983)
Muhamad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Penerbit Belukar, 2004), Hal 96
Ambo Upe,Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi
Posivistik ke Post positivistik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010),Hal 70
F. Budi Hardiman,Filsafat Modern Dari Machievelli Sampai
Niestzsche (Jakarta: PT Garmedia Pustaka Utama, 2004),Hal 179
Upe,Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi
Posivistik ke Post positivistik ,Hal 70.
Upe,Tradisi Aliran Dalam Sosiologi dari Filosofi
Posivistik ke Post positivistik ,Hal 72
Hardiman,Filsafat Moderen Dari Machievelli Sampai
Niestzsche,Hal 197
Koento Wibisono, Arti
Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte,Hal. 16. Lihat juga
Auguste Comte, The Positive Philosophy,
diterjemahkan oleh Harriet Martineau (London: Batoche Books, 2000), vol. 1,Hal.
27-31