Sabtu, 10 Juni 2017

SIMPATI DAN NASEHAT UNTUK ADIK AFI NIHAYA FARADISA

Oleh: Salam el Fath

Saya kasihan kepadamu de', kamu mungkin saat ini merasa tertekan oleh bulian banyak orang akibat plagiasi yang kamu lakukan terhadap tulisan orang lain. Sebenarnya memang saya agak meragukan tulisan kamu de', sebab saya tidak meyakini bahwa kamu mempelajari Islam pada salah seorang guru atau beberapa orang sehingga kamu expert di bidang itu. Yang saya tahu kamu hanya hobi baca buku dan belajarnya hanya pada buku, dan saat kamu menulis tentang kisah yang disandarkan pada hadis Rasul yang berjudul "Belas Kasih" itu, saya langsung kaget, kok tiba-tiba kamu bisa menulis seperti itu, padahal selama ini tidak ada satu pun tulisanmu yang memberi indikasi bahwa kamu mempelajari Islam.

Selama ini setahu saya kamu hanya mengutip beberapa perkataan para pemikir Barat dalam menulis statusmu di Facebook. Dan saya anggap hal itu wajar jika memang benar kamu belajar pada buku.
Tapi saat tiba-tiba itu loh, saya sendiri langsung kaget, apalagi setelah terbukti bahwa ternyata kamu hanya copy-paste dari tulisan orang lain. Mungkin karena kamu merasa cocok dengan tulisan itu, dan kamu mengira bahwa tulisan orang yang kamu copy-paste itu bisa memberikan pencerahan pada ratusan ribu followersmu. Apalagi jika ada setan yang membisikkan ke telingamu. Kemudian kamu posting di facebook, sehingga puja-puji memenuhi kolom komentar pada akunmu. Walau pun ketika aku selesai membacanya langsung memberi komentar di dada (bukan di facebook) bahwa pemahamanmu tentang Islam sangat keliru.

Tapi aku menjadi lebih kaget lagi jika ternyata akibat plagiasi itu justru menjadi penyebab dirimu langsung jatuh ke dasar rasa malu yang terdalam. Aku sendiri saat ini tak mampu lagi membayangkan bahwa betapa merasa malunya dirimu akibat adanya berita plagiasi yang viral saat ini. Namun saya tetap menaruh belas kasihan padamu, sebab kamu masih sangat belia. Saya takut jika kamu mengalami tekanan bathin yang begitu perih akibat tulisan plagiasi itu. Sedangkan orang-orang Sekuler dan Liberal sudah terlanjur membuatmu terkenal di tengah-tengah masyarakat.

Mereka telah menjadikanmu sebagai icon dalam menyebarkan pemikiran mereka. Tapi setelah kamu menjadi tertekan dan dipermalukan seperti sekarang ini, orang-orang Liberal itu dengan santainya berlepas diri dari kamu. Istilahnya itu, mereka cuci tangan dari apa yang menimpa kamu saat ini.

Allah SWT berfirman yang artinya,

"Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa, dan segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (Qs. Al-Baqarah 166)

Kasihan kamu de', kamu dibuat terkenal agar kamu menjadi corong bagi mereka "para setan-setan" itu untuk merusak pemahaman Islam di tengah-tengah masyarakat. Aku berharap, kamu dapat segera bertaubat dan berpaling dari orang-orang Liberal itu, sehingga kamu berada pada jalan yang lurus.
Kamu jangan terjebak oleh popularitas yang mereka janjikan untukmu, walau pun saya tahu orang-orang yang memiliki jiwa muda seusiamu akan sangat bangga jika memperoleh popularitas seperti yang kamu peroleh beberapa hari yang lalu. Diundang di televisi, di kampus-kampus ternama, dibayar tinggi dan disanjung-sanjung oleh para pejabat negeri.

Jangankan yang masih muda sepertimu de', orang-orang tua seperti para tokoh-tokoh Liberal yang sudah "bau tanah" itu pun masih mengejar popularitas, sebab mereka memang sudah terbiasa berbuat demikian. Karena mereka ingin dipuja-puji oleh Barat. Dan sudah seperti itulah karakter orang-orang Liberal. Mereka belajar di Barat, atau belajar kepada orang-orang yang belajar Islamnya di Barat. Kemudian dari itu lalu mereka mengikuti segala apa yang datang dari pemikir Barat. Mereka lalu menyebut orang Muslim yang memperjuangkan Islam dengan istilah Radikal, Fundamentalis, Konservatif, dan Teroris. Semua istilah itu datang dari Barat yang kemudian mereka gunakan untuk menakut-nakuti umat Islam. Hal itu mereka lakukan disebabkan oleh Barat yang telah menggelontorkan dana yang besar kepada mereka, sehingga dengan nyamannya mereka menjadi agen Barat yang berusaha menakut-nakuti umat Islam dari pejuang Syariat Islam dengan istilah-istilah yang datang dari Barat tersebut.

Kamu masih muda de', kamu memiliki potensi yang begitu besar untuk menjadi agen Islam untuk menjadi pencerah bagi umat yang sedang sakit akibat Sekularisme saat ini. Menurutku kamu bisa menjadi pejuang Islam yang membawa Islam di tengah-tengah masyarakat sebagai ideologi yang mengatur agama dan negara, dan in sya Allah kamu akan menjadi orang yang Allah masukkan ke dalam golongan hamba-hambanya yang akan menghuni Surga di akhirat sana. Tapi mungkin hal itu akan membuat popularitasmu hilang, dan mungkin juga kamu akan memperoleh banyak celaan, dan bahkan bisa jadi istilah-istilah Barat itu juga akan tertujukan ke kamu. Mungkin dengan sebutan, Afi adalah Teroris, Radikal, Fundamentalis, dan macam-macam.

Tapi yakinlah wahai adik Afi, itu akan menjadi lebih baik bagimu di sisi Allah daripada menjadi agen-agen penjajah yang ketika engkau mengalami tekanan seperti sekarang ini, "para setan-setan" itu lalu cuci tangan dan berlepas diri darimu. Jadilah hamba Allah yang taat di bumi ini de', dari pada menjadi hamba para setan yang jika engkau masuk jurang mereka lalu berlepas diri dan cuci tangan.
RAMADHAN KAREEM

SURAT "CINTA" UNTUK ADIK AFI NIHAYA FARADISA

Tanggapan atas tulisan yang berjudul “WARISAN”
Oleh: Salam
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang)

Bismillahirrahmanirrohim….
Assalam ‘alaikum wa rochmatullah wa barokaatuh
Alhamdulillah atas nikmat Iman dan Islam yang telah mengokoh di sanubari, dan yang telah menunjukkan jalan dalam menempuh kehidupan di dunia ini. Aku juga mengucap syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan untuk membaca sebuah tulisan dari salah seorang gadis remaja yang baru berusia belasan tahun, namun sudah mulai memperlihatkan kepeduliannya terhadap lingkungan dan perkembangan dunia saat ini, terutama terkait kondisi yang sedang terjadi di negeri yang kita cintai ini.

Alhamdulillah, aku telah membaca keseluruhan isi tulisan yang telah adik Afi publikasikan melalui akun FB yang adik Afi miliki, dan saya sangat berkesan dengan tulisan tersebut. Namun ada hal yang sedikit mengganjal dalam hati, sehingga menggerakkan jemariku untuk menulis surat ini kepada adik Afi. Saya ingi mengatakan bahwa, saya sangat setuju terhadap pernyataan adik Afi yang mengatakan:
“Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak”

Menurut saya, adalah sungguh sebuah kesyukuran yang sangat besar ketika kita dilahirkan dari orang tua yang Muslim yang kemudian menuntun kita ke jalan Islam. Sebab ini menjadi dasar yang sangat penting dan utama agar kita belajar memahami apa itu ISLAM. Karena jika kita tidak dilahirkan dari orang tua yang Muslim, maka sangat kecil kemungkinan bagi kita untuk mempelajari agama ini (Islam). Akan tetapi, seorang manusia, apapun agamanya, ia telah dikaruniai oleh Tuhan berupa “Akal”. Sedangkan akal adalah suatu karunia yang diberikan oleh Tuhan kepda manusia agar mereka memikirkan segala apa yang ada di muka bumi ini. Baik itu berupa langit, planet-planet, benda yang ada pada bumi, bahkan keyakinan keagamaan yang ada di tengah-tengah umat manusia. Nah, dari akal inilah yang akan menjadi alat bagi kita umat manusia untuk memahami setiap fenomena yang terjadi di tengah-tengah kita. Dan bagian daripada fenomena itu salah satunya adalah tentang “Fenomena Memilih Sebuah Keyakinan Keagamaan.”

Saya pribadi sangat tidak setuju jika seseorang dalam beragama hanyalah karena ikut-ikutan, sebab menurut saya, orang yang beragama karena ikut-ikutan adalah orang yang tidak menggunakan karunia “Akal” yang telah Tuhan berikan padanya. Padahal kita semua memahami bahwa “Akal” adalah alat terbaik yang dapat kita gunakan untuk memikirkan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, dan tentunya agar kita dapat menjalani kehidupan kita menjadi lebih baik. Maka benar jika dikatakan bahwa kita tidak bisa memilih dari mana kita akan lahir, dan di mana kita akan tinggal setelah dilahirkan. Akan tetapi, setelah kita lahir, kita memiliki pilihan untuk memilih agama apa yang akan kita yakini dan di daerah mana atau di negara mana kita akan menetap sebagai tempat tinggal kita di bumi Tuhan ini. Benar apa yang adik Afi katakan, bahwa kewarganegaraan kita adalah warisan, nama kita warisan, dan agama kita juga adalah WARISAN. Namun yang namanya warisan, adalah hak, dimana pemilik warisan itu juga berhak untuk mengambilnya ataupun tidak sama sekali. Sebab yang namanya warisan itu adalah “Hak”, dan yang namanya hak adalah sesuatu yang juga berhak untuk diambil atau tidak. Tentunya dengan pertimbangan yang rasional apakah kita akan mengambil hak itu atau tidak. Yang menjadi masalah adalah jika kita tetap ngotot membela mati-matian warisan tersebut tanpa alasan yang logis.

Semua agama memang memiliki keyakinan yang sama dalam hal menganggap penganut agama lain sebagai orang yang perlu dikasihani, karena seperti yang adik Afi katakan, bahwa mereka semua meyakini "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya." Akan tetapi, semua golongan itu boleh mengklaim demikian jika benar-benar dapat dibuktikan bahwa apa yang ada pada genggaman mereka adalah yang paling benar, sebab yang ada di dunia hanya dua, yakni antara yang Hak dan yang Bathil, benar dan salah. Maka tugas dari para penggenggam keyakinan itu ialah dipersilahkan bagi mereka untuk menyampaikan semua apa yang mereka miliki dan yang mereka anggap sebagai kebenaran, tidak boleh ada pelarangan atas hal itu. Sebagai contoh, adalah seorang Nabi Muhammad SAW ketika masih beliau sendiri yang memahami tentang ISLAM. Dimana ketika itu masyarakat telah memiliki warisan dari orang tua mereka masing-masing. Akan tetapi, berdasarkan pilihan-pilihan yang mereka miliki, dan atas dasar pertimbangan akal yang jernih, akhirnya sebagian besar dari mereka memilih untuk menjadikan ISLAM sebagai agama yang mereka yakini dan pertahankan, lalu membuat mereka juga ikut menyampaikan ajaran ISLAM itu setelah mereka merasakan pencerahan dari agama baru yang mereka anut tersebut, dan berusaha untuk mengajak orang lain agar memeluk agama itu supaya mereka ikut merasakan apa yang telah mereka rasakan pasca menjadikan ISLAM sebagai pandangan hidup dalam kehidupan mereka.

Dan untuk konteks kekinian, mungkin saya dan adik Afi juga perlu memahami, MENGAPA KITA MENJADI SEORANG MUSLIM..?! Begitu juga mereka orang-orang yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan sebagainya. Saya fikir kita semua harus mempertanyakan hal itu, dan mencari jawabannya dengan sebenar-benarnya jawaban yang rasional melalui jalan berfikir dengan menggunakan akal sehat yang telah ada pada diri kita masing-masing. Setelah kita menemukan jawabannya, terserah pada kita, ingin menyampaikannya juga pada orang lain atau tidak, itu adalah hak kita yang wajib dilindungi. Begitu pula yang adik Afi sampaikan tentang tulisan “WARISAN” yang saya tanggapi ini. Ini adalah pemahaman yang ku pahami bahwa tulisan itu adalah hasil dari apa yang adik Afi pahami, dan begitu juga dengan saya, yakni menanggapi tulisan adik Afi sebagaimana apa yang saya pahami. Adik Afi miliki hak untuk berpendapat, sedangkan saya juga memiliki hak untuk menjawab.

Terkait melabeli orang lain dengan ahli Surga atau Neraka, memang itu adalah otoritas Tuhan. Akan tetapi kita memiliki kewajiban untuk menyampaikan apa adanya tentang kriteria yang telah diajarkan Tuhan mengenai orang-orang yang akan masuk Surga atau Neraka, dan hal itu bukan berarti orang yang menyampaikan hal tersebut sebagai orang yang telah mencoba untuk menjadi Tuhan.
Benar bahwa tidak seorang pun yang meragukan kekuasaan Tuhan. Namun Tuhan telah menjadikan akal pada umat manusia untuk mencari tahu sendiri tentang Tuhan dan kebenaran. Dan dengan adanya berbagai agama yang ada di muka bumi ini, adalah agar umat manusia dapat mengggunakan akal sehatnya dalam memilih agama yang ingin ia yakini. Karena apa yang telah dipilih, akan menentukan tempat di mana manusia tersebut setelah mati. Surga atau Neraka. Karena masuk Surga atau Neraka seorang manusia, adalah konsekuensi logis atas pilihan yang telah ia pilih semasa hidupnya di dunia.

Adapun mengenai penghuni sebuah negara dengan satu agama, menurut saya adalah suatu imajinasi yang terlalu tinggi dan tidak berdata. Sebab tidak ada di dunia saat ini yang negaranya hanya terdiri dari satu agama. Semua negeri memiliki agama yang berbeda-beda. Bahkan sejak Islam memimpin dunia selama 14 abad, sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga runtuhnya ke-khilafahan Islam di Turki Utsmani. Negara (kekuasaan) tersebut tidak hanya terdiri dari satu agama, akan tetapi masyarakatnya terdiri dari berbagai macam keyakinan (agama) dengan berbagai macam jenis suku bangsa. Dan hebatnya, pemeluk agama selain Islam tersebut tetap hidup damai dalam negara yang menerapkan perundang-undangan Islam di kala itu. Karena fakta telah membuktikan, bahwa tidak ada satu agama pun di dunia ini yang di dalam kitab sucinya memiliki pemahaman tentang ketatanegaraan, politik, ekonomi, pendidikan, hukum, dan sebagainya selain agama Islam. Maka sungguh tidak logis jika sebuah agama yang tidak memiliki aturan dalam urusan ketatanegaraan, politik, pemerintahan, ekonomi, dan sebagainya itu lalu menuntut agar agamanya menjadi landasan dalam bernegara..?! sedangkan Islam, adalah wajar. Sebab di dalam kitab sucinya telah menyatakan dengan tegas bahwa ia diturunkan untuk menjadi penjelas bagi segala problematika umat manusia (Q.S. An-Nahl: 89). Di dalamnya dijelaskan tentang hukum bagi pelaku korupsi, pemerkosa, zina, pembunuhan, dan sebagainya yang hanya bisa dilakukan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara. Begitu juga tentang perekonomian, Politik, Pemerintah, pendidikan, dan sebagainya.
Maka sekali lagi, adalah wajar jika umat Islam menginginkan untuk menerapkan semua ajaran agamanya. Sebab mereka memahami bahwa menjalankan semua ajaran Islam adalah konsekuensi logis atas iman yang telah mereka anut. Saya melihat adik Afi telah menggunakan kerudung dalam kehidupan sehari-hari (walau itu hanya di FB tentunya). Itu adalah salah satu contoh terkait ajaran yang telah Tuhan berikan dalam Islam perihal menjalani pergaulan dalam kehidupan sehari-hari.

Dan terakhir, mohon maaf, menurut saya, adalah sebuah kebodohan jika mengira bahwa dengan menjalankan ajaran Islam pada sebuah pemerintahan akan menjadikan negara yang menerapkannya menjadi terpecah belah dan hancur hanya karena penduduk negeri tersebut bukan semuanya Muslim. Itu adalah pernyataan yang tidak berdasar dan ahistoris. Padahal sepanjang sejarah umat manusia yang dipimpin dengan menggunakan syariat Islam, telah mewujud nyata sebagai peradaban yang mampu mengayomi seluruh penduduk dengan berbagai macam suku, etnis, bangsa, dan agama. Sebenarnya pernyataan yang mengatakan bahwa Syariat Islam dapat menjadi penyebab terpecah belahnya bangsa ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak awal-awal kemerdekaan pun pernyataan tersebut telah muncul. Terutama ketika ada yang menyebutkan bahwa Irian Jaya akan lepas jika diterapkan Syariat Islam. Akan tetapi, pernyataan itu telah dijawab oleh salah satu Ulama yang mengawali pendirian bangsa ini. Beliau adalah KH. Wahid Hasyim, yakni ketika beliau menjawab tuduhan tersebut dengan mengatakan kepada orang-orang yang menuduh tersebut:

“Pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian, menurut pandangan hukum Islam, adalah perbuatan mungkar yang tidak dibenarkan syariat Islam. Dan wajib bagi tiap-tiap orang muslimin menyatakan ingkar atau tidak setuju.”

Tentu kita tidak bisa memungkiri bahwa dalam peradaban Islam juga terdapat berbagai macam jenis permasalahan. Namun masalah-masalah tersebut hanya terjadi di kalangan para penguasannya yang sudah melenceng dari ajaran Islam. Sedangkan penduduknya, terutama yang beragama selain Islam, mereka tetap hidup damai dan berdampingan dengan penduduk yang beragama Islam. Sebagai salah satu contoh nyata yang masih ada hingga saat ini adalah penduduk Kristen Koptik di Mesir, mereka hingga kini masih hidup dan tanpa cacat satu apapun. Padahal seandainya benar bahwa dengan diterapkannya syariat Islam sebagai dasar negara akan menjadi pemecah belah, maka mungkin tidak akan ada lagi umat kristiani tersebut di negeri Mesir. Bahkan di Indonesia saat ini, mungkin tidak akan ada lagi penduduk selain Islam jika Islam mengajarkan pada umatnya untuk berbuat buruk pada penganut agama selainnya.
Wallahu a’lam…

Note:
Maaf, saya baru membaca tulisan adik Afi. :)
Sebaiknya, mari kita pelajari lagi lebih dalam tentang ISLAM yang telah kita anut ini. :)
Batu-Malang, 18/05/17.

Minggu, 28 Mei 2017

Respon Umat Islam di Indonesia Atas Keruntuhan Khilafah Islamiyah

Oleh Septian Anto Waginugroho*

Pada 28 Rajab 1342 H bertepatan dengan 3 Maret 1924, Kemal at-Taturk melalui Majelis Nasional Turki menetapkan penghapusan Khilafah dan pengusiran Khalifah saat itu sekaligus menjadi yang terakhir, Abdul Majid II, ke luar Turki. Dengan demikian berakhirlah sistem Khilafah yang selama ini menyertai umat Islam. Berita tentang penghapusan dan pengusiran yang dilakukan oleh Kemal Ataturk ini segera menyebar ke luar Turki dan mengejutkan dunia Islam. Kemudian umat Islam di berbagai belahan dunia memberikan respon dalam berbagai bentuk dan saat itu muncul upaya agar Khilafah dapat tegak kembali. [1]
Pada dasarnya penghapusan Khilafah ini merupakan persoalan bagi umat Islam di seluruh dunia karena Khilafah merupakan bagian dari keislaman mereka. Selain itu selama ini Khilafah telah berdiri bersama umat Islam berabad-abad lamanya sehingga Khilafah telah menjadi bagian sejarah perjalanan hidup mereka. Tentang hubungan antara umat Islam dan Khilafah serta sebab persoalan penghapusan ini mendatangkan respon, Muhammad Dhia’uddin ar-Rais, seorang Guru Besar Jurusan Sejarah Islam Universitas Kairo, di dalam bukunya yang berjudul al-Islam wa al-Khilafah fi al-Ashr al-Hadits menjelaskan,
sesungguhnya Khilafah ini bukan milik Turki saja melainkan milik dunia Islam seluruhnya. Ia adalah sebagian dari warisan umat Islam, peninggalan sejarah dan lambang persatuan mereka. Khilafah merupakan pimpinan spritual bangsa-bangsa Islam di segenap penjuru bumi. Khilafah ini telah berlangsung lebih dari seribu tiga ratus tahun.
Yaitu sejak umat Islam mengadakan rapat untuk memilih Abu Bakar Shiddiq (Sahabat Nabi) sebagai pengganti Rasulullah Muhammad saw. Beliau itulah sebagai khalifah pertama dalam sejarah Islam, diikuti oleh Khalifah kedua al-Farq Umar bin Khaththab, begitulah seterusnya silih berganti sepanjang masa, dalam berbagai dinasti sehingga berakhir pada abad keduapuluh ini. Oleh karena itu, wajar jika umat Islam memperhatikan dengan sungguh-sungguh soal Khilafah ini dan memikirkan akibatnya, serta berpikir apa yang akan terjadi kelak di masa mendatang. [2]
Sebab begitu besar pengaruh keberadaan Khilafah bagi umat Islam maka berita keruntuhan Khilafah ini mendapatkan respon dari dunia Islam dan muncul upaya untuk menegakkan Khilafah kembali. Beberapa saat setelah diruntuhkan, ide untuk menegakan kembali Khilafah langsung bergulir dan terus diperbincangkan. Di beberapa tempat ide ini diperbincangkan dalam pertemuan-pertemuan besar.
Pada Maret 1924 dibawah pimpinan Syaikh al-Azhar para ulama menyelenggarakan pertemuan di Kairo. Dalam pertemuan ini disepakati bahwa keberadaan Khilafah yang memimpin umat Islam tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah keharusan. Mereka juga berpendapat kedudukan Abdul Majid sebagai Khalifah sudah gugur setelah dia diusir dari Turki. Oleh sebab itu harus ada pengganti Khalifah selanjutnya. Untuk membahas siapa yang layak menjadi Khalifah, mereka memutuskan akan mengadakan Muktamar di Kairo pada Maret 1925 dengan mengundang wakil-wakil dari umat Islam di seluruh dunia.[3]
Hal serupa juga dilakukan oleh ulama di Hijaz. Pada April 1924 di Makkah, Syarif Husein yang menjadi Amir Makkah membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari sembilan sayid dan sembilan belas perwakilan dari daerah lain termasuk dua orang perwakilan dari Jawa. Dewan Khilafah ini dibentuk sebagai upaya untuk menegakkan kembali jabatan Khalifah. Namun Dewan Khilafah tidak berumur panjang karena pada tahun yang sama Syarif Husein lengser dari jabatannya. [4]
Di Indonesia pun berita penghapusan Khilafah telah sampai dan mendapat respon dari ulama dan tokoh pergerakan Islam pada saat itu. Pada Mei 1924, dalam kongres Al-Islam II yang diselenggarakan oleh Sarekat Islam dan Muhammaddiyah, persoalan tentang Khilafah menjadi topik pembicaraan kongres. Dalam kongres yang diketuai Haji Agus Salim ini diputuskan bahwa untuk meningkatkan persatuan umat Islam maka kongres harus ikut aktif dalam usaha menyelesaikan persoalan Khalifah yang menyangkut kepentingan seluruh umat Islam. [5]
Keputusan itu semakin dipertegas dengan lahirnya keputusan Kongres Nasional Central Sarekat Islam pada Agustus 1924 di Surabaya. Seperti yang diberitakan surat kabar Bandera Islam, kongres memutuskan untuk terlibat dalam perjuangan Khilafah. Umat Islam di Indonesia harus mengirimkan utusannya ke kongres di Kairo.
“…hendak membantoe dengan segala kekoeatan boedi dan tenaganja semoea ichtiar jang menoedjoe maksoed akan mengirimkan oetoesannja oemmat Islam di Hindia-Timoer, boeat menghadiri Congres Igama Islam, jang diadakan di Cairo goena membitjarakan dan memoetoeskan perkara Chilafat Islam.” [6]
Jauh sebelum Turki Usmani runtuh, permasalahan Khilafah telah menarik perhatian umat Islam di Indonesia. Hingga kemudian pada 3 Maret 1924 muncullah persoalan yang menyedot perhatian dunia tersebut. Secara umum keruntuhan ini menimbulkan kebingungan pada dunia Islam [7], yang mulai berfikir tentang pembentukan Khilafah baru. Menurut Deliar Noer, Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. [8]
Saat gagasan penegakan Khilafah muncul, masyarakat Islam Indonesia tengah berada dalam zaman pergerakan nasional. Saat itu telah banyak bermunculan organisasi-organisasi pergerakan Islam seperti Sarekat Islam, al-Irsyad, Muhammadiyah dan menyusul kemudian Nahdlatul Ulama. Organisasi ini muncul karena dorongan aspirasi mereka untuk memajukan Islam dan menentang penjajahan Belanda. Berbeda dengan generasi sebelum mereka yang menempuh perjuangan secara fisik dan bersifat kedaerahan, pada zaman ini bangsa Indonesia berjuang melalui organisasi-organisasi modern. Cara-cara yang mengedepankan kekuatan intelektual menjadi ciri pergerakan mereka. Pada zaman itu mereka telah terbiasa menggunakan langkah-langkah seperti pembentukan komite-komite, penyelenggaran kongres dan pertemuan serta pengadaan sarana pendidikan, untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Perjuangan mereka semakin disempurnakan dengan usaha masif penerbitan surat kabar yang menjadi organ bagi organisasi mereka. [9]
Dengan cara-cara seperti itu juga mereka memperjuangkan Khilafah. Pembentukan komite, penyelenggaraan kongres dan pertemuan, serta penerbitan surat kabar menjadi cara yang ditempuh untuk memperjuangan Khilafah pada zaman itu. Saat berita keruntuhan Khilafah sampai di Indonesia, mereka meresponnya dan ikut terlibat dalam perjuangan Khilafah. Ditambah pula perjuangan mereka ini memiliki hubungan dengan perjuangan Khilafah yang dilakukan oleh umat Islam di negeri lain.
Tersiar kabar akan diselenggarakan sebuah kongres dunia Islam di Kairo dengan mengundang perwakilan dari seluruh umat Islam di dunia. Kongres yang dimaksudkan untuk mencari pengganti khalifah ini akan diselenggarakan pada Maret 1925. Undangan kongres ini pun dikirim ke Indonesia. [10] Sebagai sambutan atas undangan ini pada tanggal pada tanggal 4-5 Oktober 1924 diadakan sebuah pertemuan di Surabaya yang dihadiri para ulama dan kaum pergerakan Islam dari berbagai organisasi. Dihasilkan kesepakatan dalam pertemuan ini bahwa wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan Khilafah. Umat Islam di Indonesia harus terlibat dalam kongres di Kairo dengan mengirimkan utusan ke kongres tersebut. Untuk maksud tersebut maka dibentuk sebuah badan khusus bagi perjuangan Khilafah di Indonesia yang bernama Comite-Chilafat dengan ketua Wondosoedirdjo dari Sarekat Islam dan wakil ketua K. H. Abdul Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi yang kemudian menjadi salah seorang pendiri NU. [11]
Pertemuan tersebut ditindaklanjuti dengan diselenggarakan Kongres al-Islam Luar Biasa pada tanggal 24-27 Desember 1924 di Surabaya. Kongres ini dihadiri oleh para ulama dan 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat maupun cabang. Ada tiga keputusan yang dihasilkan dari kongres ini. Pertama, wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan Khilafah. Kedua, disepakati akan terus didirikan Comite-Chilafaat di seluruh Hindia-Timur (Indonesia). Dan terakhir, diputuskan akan mengirimkan tiga orang utusan sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres di Kairo dengan enam butir mandat yang telah disepakati. Tiga orang utusan tersebut adalah Surjopranoto dari Sarekat Islam, Haji Fachroddin dari Muhammadiyah dan K. H. A. Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi. Namun utusan ini gagal berangkat disebabkan kongres di Kairo ditunda. [12]
Aspirasi umat Islam di Indonesia Pergerakan Khilafah ini terus menyebar di Indonesia. Kesadaran tentang urgensi perjuangan Khilafah terus diopinikan. Hal itu diupayakan dengan membentuk cabang-cabang Comite-Chilafaat di berbagai wilayah di Indonesia [13] dan dengan diadakannya pertemuan-pertemuan yang membahas Khilafah di beberapa kota. [14] 

*Penulis Adalah Mahasiswa Sejarah UI dan Aktivis Forum Remaja Mesjid UI

Catatan Kaki
 
[1] Untuk uraian berbagai respon atas keruntuhan Khilafah, lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 83-6. 
[2] Muhammad Dhia’uddin ar-Rais, Islam dan Khilafah di Zaman Modern, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), hlm. 45. 
[3] Ibid., hlm. 50-1. 
[4] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 86. 
[5] Mukayat, Haji Agus Salim Karya & Pengabdiannya, (Jakarta: Depdikbud, 1985), hlm. 39; A.K. Pringgodigdo SH., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm. 37. 
[6] Bandera Islam, 16 Oktober 1924. 
[7] Dalam surat kabar harian Neratja edisi 26, 27, 29, 31 Maret 1924, K. H. Agus Salim menulis sebuah artikel yang berjudul Kemanakah Chalifah Islam? Kekaloetan ‘Alam Islam. Artikel ini mengambarkan kekalutan dunia Islam atas keruntuhan Khilafah. 
[8] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 242.
[9] Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996) dan A.K. Pringgodigdo SH., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986). 
[10] Aqib Suminto, Op.Cit., hlm. 86. 
[11] Deliar Noer, Op.Cit, hlm. 242. Reportase tentang pertemuan ulama dan kaum pergerakan pada 4-5 Oktober di Surabaya banyak dimuat dalam surat kabar yang terbit sezaman. Menurut harian Hindia Baroe pimpinan K. H. Agus Salim, sepanjang sejarah umat Islam di Indonesia, pertemuan ini merupakan kali pertamanya di Indonesia diadakan sebuah pertemuan yang khusus membahas tentang Khilafah, lihat Hindia Baroe, 16, 17, 18 Oktober 1924; dan Bandera Islam, 23, 30 Oktober 1924. 
[12] Lihat Deliar Noer, OpCit., hlm. 242; dan Aqib Suminto, Op.Cit., hlm. 86. Tiga keputusan Kongres ini, lihat “Persidangan Moelia Loear Biasa Dari Pada Congres Al-Islam” dalam Bandera Islam, 1 Januari 1925. Penundaan kongres Kairo disebabakan oleh tiga alasan, yakni: 1. Masih berkecambuknya perang di Hijaz; 2. Belum jelasnya beberapa negeri Islam atas seluk beluk kongres; dan 3. Kesibukan Mesir dalam menghadapi pemilihan umum, lihat Bandera Islam, 22 Januari 1925. 
[13] Cabang dari Komite Khilafah ini antara lain: Sub-comite Chilafaat Djokjakarta, Sub-comite Chilafaat Pekalongan, Sub-comite Chilafaat Tjirebon, Sub-comite Chilafaat Pasoeroean, Sub-comite Chilafaat Buitenzorg, Sub-comite Chilafaat Bandjermasin dan Sub-comite Chilafaat Tjiandjoer, lihat Bandera Islam, 1 Januari 1925. 
[14] Harian Hindia Baroe, 4 Desember 1924, memberitakan tentang pertemuan Sub-comite Chilafaat Tjiandjoer yang dihadiri oleh 3000 orang dari berbagai kota seperti Cianjur dan Sukabumi, pertemuan ini membahas tentang perjuangan Khilafah. Selain itu Sub-comite Tjiandjoer menyumbangkan dana kepada Comite-Chilafaat di Surabaya, lihat Bandera Islam, 29 Januari 1925; Pada 15 Januari 1925, surat kabar Bandera Islam memberitakan tentang pertemuan S.I. Majalengka. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh 350 orang ini dibahas tentang pergerakan Khilafah dan keputusan Kongres Al-Islam di Surabaya.
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id (2012/03/04)

Sabtu, 25 Maret 2017

MENJAWAB PEMAHAMAN BAPAK AHMAD ISHOMUDIN MENGENAI TAFSIR AL-MAIDAH 51



Bapak Ahmad Ishomudin baru-baru ini namanya terdengar viral di media, baik media sosial maupun media elektronik. Hal ini dipicu oleh kesaksian beliau dalam sidang ke-15 terkait dengan pembelaannya terhadap terdakwa Basuki Tjahya Purnama. Saudara Ahmad Ishomudin mengatakan bahwa konteks ayat tersebut dilihat dari sabab an-nuzulnya terkait larangan bagi orang beriman agar tidak berteman setia dengan orang Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi Nabi, para sahabatnya, dan mengingkari ajarannya. Ayat tersebut pada masa itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin,  apalagi pemilihan gubernur. 

Pernyataan ini diambil dari tulisan klarifikasi beliau yang tersebar di dunia maya, terutama di grup-grup Whats Up. Saya pun menemukannya dari grup Whats Up yang dibuat oleh mahasiswa pascasarjana UIN Maliki Malang dengan nama grup "CENDEKIAWAN SIAI" yang adminnya adalah saudara Tommy Alvanso.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Maidah: 51)

Menurut kami, bapak Ahmad Ishomudin bisa dikatakan benar-benar belum bisa dikatakan ahli Tafsir dan memang tidak layak jadi ahli Tafsir. Hal ini juga sebagaimana pernyataan beliau dalam klarifikasi tersebut yang menyatakan bahwa beliau bukanlah ahli tafsir. Menurut kami, ayat Al-Maidah 51 tersebut cukup mudah untuk dipahami. Dalam hal ini, jika di dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa tidak diperbolehkan mengambil seorang Kafir sebagai teman, maka alangkah mudahnya untuk memahami bahwa ayat itu juga melarang kaum Muslimin untuk menjadikan seorang Kafir sebagai pemimpin. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada tafsiran yang dilakukan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya Tafsir Al-Qur'an al-'Adzim. 

Ibnu Katsir menafsirkan ayat dengan mengatakan bahwa, Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin mengangkat orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani sebagai wali mereka, karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan para penganutnya; semoga Allah melaknat mereka. Kemudian Allah memberitahukan bahwa sebagian dari mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.
Selanjutnya Allah mengancam orang mukmin yang melakukan hal itu melalui firman-Nya:

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab, telah menceritakan kepada kami Muhammad (Yakni Ibnu Sa'id ibnu Sabiq), telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Sammak ibnu Harb, dari Iyad, bahwa Umar pernah memerintahkan Abu Musa Al Asyari untuk melaporkan kepadanya tentang semua yang diambil dan yang diberikannya (yakni pemasukan dan pengeluarannya) dalam suatu catatan lengkap. Dan tersebutlah bahwa yang menjadi sekretaris Abu Musa saat itu adalah seorang Nasrani. Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Khalifah Umar r.a. Maka Khalifah Umar merasa heran akan hal tersebut, lalu ia berkata, "Sesungguhnya orang ini benar-benar pandai, apakah kamu dapat membacakan untuk kami sebuah surat di dalam masjid yang datang dari negeri Syam?" Abu Musa Al-Asy'ari menjawab, "Dia tidak dapat melakukannya." Khalifah Umar bertanya, "Apakah dia sedang mempunyai jinabah?" Abu Musa Al-Asy'ari berkata, "Tidak, tetapi dia adalah seorang Nasrani." Maka Khalifah Umar membentakku dan memukul pahaku, lalu berkata, "Pecatlah dia." Selanjutnya Khalifah Umar membacakan firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali(kalian). (Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat.

Dari kisah yang diangkat oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirannya tersebut telah jelas mengatakan bahwa Umar bin Khattab sendiri menolak seorang Kafir menjadi juru tulis (sekretaris). Hal ini memberi pemahaman bahwa jika seorang sekretaris saja tidak diperbolehkan, maka apatah lagi jika seorang Kafir tersebut diangkat sebagai Gubernur, tentu lebih dilarang lagi. Oleh karena itu, pernyataan yang disampaikan oleh Bapak Ahmad Ishomudin memang perlu dijauhi, sebab hal itu adalah upaya sengaja yang dilakukan untuk membodohi kaum Muslimin.

Sebagai komentar terakhir kepada beliau,
Di dalam Al-Qur'an telah menyatakan haramnya menjadikan orang Kafir sebagai teman. Apa yang dilakukan oleh bapak Ahmad Ishomudin dengan menjadi saksi untuk meringankan Terdakwa (Ahok), adalah bentuk nyata bahwa beliau telah melanggar ayat Al-Maidah 51 tersebut. Maka bagaiamana mungkin orang seperti beliau bisa dijadikan sebagai rujukan dalam memahami Al-Qur'an..?!

Wallahu a'lam Bi as-Showab.

Oleh: Salam el-Fath (Mahasiswa Studi Islam di UIN Maliki Malang).