Kamis, 08 Desember 2016

Rasionalisasi Epistimologi dalam Filsafat

Epistimologi untuk mengetahui esensi ontologis adalah epistimologi yang harus dibangun secara Rasional, kalau tidak secara Rasional, maka hasil capaian pengetahuan dan pemikiran yang diperoleh dari epistimologi yang tidak Rasional tersebut tidak bisa dijadikan sebagai pengetahuan dan pemikiran yang benar.

Kita tidak bisa mengambil segala sesuatu yang dihasilkan oleh epistimologi yang rusak sebagai kebenaran.

Ketika membahas tentang ontologis, maka kita harus membahas segala esensi ontologis tersebut. Sedangkan epistimologi itu sendiri termasuk bagian dari ontologis. Oleh karena itu, tidak keliru jika kita juga harus mengemukakan beberapa pertanyaan kepada suatu epistimologi yang digunakan.

Ada beberapa contoh teori epistimologi yang ada dalam dunia Filsafat. Seperti, Rasionalisme (Rene Descartes, Spinoza, dll), Empirisme (John Lock, dkk), Positivisme (Aguste Comte), Hermeneutika (Frederich Sleimacher, Derida, Gadamer, dkk), Fenomenologi (Edmund Husel, dkk), dan lain-lain.

Dari beberapa teori epistimologi di atas, dapat dikemukakan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut;

Mengapa harus memakai Rasionalisme, Empirisme, Positifisme, dll. Sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan dan pemikiran-pemikiran..?
Bagaimana cara kerja epistimologi di atas..?
Pengetahuan dan pemikiran apa yang dihasilkan oleh epistimologi di atas...?
Sejauh mana kekuatan epistimologi di atas dalam mempertahankan argumentasinya bahwa pengetahuan yang dihasilkannya adalah kebenaran..?
Dan apa manfaat (aksiologis) yang bisa diambil dari hasil kerja epistimologis di atas..?

Nach, dari beberapa pertanyaan tersebut, dapat kita ketahui kualitas kebenaran yang yang diperoleh dari kinerja epistimologis di atas. Tapi untuk mengetahui bahwa hasil kerja epistimologi suatu teori berfikir itu benar atau tidak, maka terlebih dahulu kita harus memahami terma dari esensi akal (berfikir). Maka akan memunculkan lagi pertanyaan sebagai berikut;

Apa itu Akal (Berfikir)...?

Pertanyaan inilah yang akan menentukan benar tidak suatu teori berfikir dan pengetahuan yang dihasilkannya. Kalau belum memahani esensi akal secara definitif dan aktual, maka anda akan gagal dalam memperoleh kebenaran suatu ilmu pengetahuan. Dan teori berfikir yang anda gunakan tidak akan menyampaikan anda pada hakikat kebenaran.

Mengapa...?
Karena yang namanya kebenaran hakiki itu hanya satu. Kalau dua, maka dunia hancur.

Sebagaimana firman Allah SWT, bahwa ia menciptakan kebenaran di dunia hanya satu, dan Dia juga telah menciptakan lawan dari kebenaran itu, yakni kesalahan. Atau dalam istilah kontemporernya adalah al-HAK wa al-BATHIL.

Dalam dunia pemikiran, maka aktualisasi akal yang dibutuhkan. Bukan khayalan dan imajinasi kosong tanpa fakta.

So, Berfilsafat tidak akan lari dari tiga kerang fikir di atas, yakni Ontologis, Epistimologi, dan Aksiologis.

ISLAM is Rasional Religion.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar