Dalam hal penafsiran al-Qur’an, para
salafus shalih telah memulai melakukannya dengan menggunakan metode bil ma’tsur
yang sesuai dengan konteks dan zaman mereka.
Tanggapan:
Jika dilihat dari stetmen ini, maka
di sini sepertinya Pak Achsin keliru dalam memahami apa yang dimaksud dengan
tafsir bil ma’tsur, padahal sudah dipelajari sebelumnya. Tepatnya saat Sutan
Pane menampilkan makalahnya yang membahas 4 metode tafsir. Di sana sama sekali
tidak ada penjelasan bahwa tafsir bil ma’tsur memiliki makna seperti apa yang
oleh Pak Achsin maksudkan dan pahami. Metode tafsir bil ma’tsur bukanlah metode
tafsir yang sesuai dengan konteks dan zaman panafsir. Akan tetapi ia adalah
metode tafsir yang menjadikan ayat al-Qur’an sebagai penjelas bagi ayat yang
lain dan atau ayat al-Qur’an yang dijelaskan dengan hadis. Hal itu saya
kemukakan karena saya termasuk orang yang membaca isi kitab tafsir yang
menggunakan metode bil ma’tsur tersebut. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azimnya Ibnu
Katsir misalnya. Di sana beliau selalu berusaha menjelaskan ayat dengan ayat, atau
ayat dengan hadis. Beliau sama sekali tidak menjadikan letak geografis,
konteks, atau zaman yang beliau alami sebagai landasan dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Mungkin Pak Achsin bisa membaca sendiri kitab
Ibnu Katsir itu, sehingga bapak bisa mengetahui apa isi tafsir beliau.
Wallahu
a’lam…
Kalimat nomor satu di atas kemudian dilanjutkan dengan pernyataan,
bahwa “Ketika metodologi itu dibawa ke konteks berbeda¸
konteks kekinian (kontemporer), ternyata produk tafsir tidak lagi dapat
mendialogkan al-Qur’an dengan kebutuhan dan persoalan yang baru. Dengan
demikian, dibutuhkan dan perlu dilakukan elaborasi metodologi baru yang dapat
dan mengakomodasi perkembangan zaman sehingga al-Qur’an sebagai petunjuk tetap
menjadi elastis dan fleksibel serta dapat menjawab berbagai persoalan dan
sesuai dimana pun dan kapan pun juga (shalih li kulli zamaan wa makaan).
Tanggapan:
Sepertinya
munculnya stetmen di atas akibat dari belumnya membaca kitab yang menggunakan
metode tafsir bil ma’tsur sebagaimana yang kami contohkan di atas. Atau karena
tidak fahamnya Pak Achsin terhadap kandungan dari ayat2 yang menggunakan metode
tafsir tersebut sehingga berstetmen bahwa “produk tafsir
tidak lagi dapat mendialogkan al-Qur’an dengan kebutuhan dan persoalan yang
baru.” Mungkin perlu dipahami juga bahwa, kitab tafsir adalah bukan kitab
yang digunakan untuk menghukumi suatu fakta sosial atau persoalan yang yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi ia adalah kitab yang digunakan
untuk menjelaskan isi kandungan yang ada dalam kalamullah yang bernama Al-Qur’an
itu. Dan dalam menafsirkan al-Qur’an, tidak bisa sama sekali menjadikan al-Qur’an
agar tunduk pada kondisi sosial masyarakat, akan tetapi fakta sosiallah yang harus
mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh wahyu al-Qur’an. Sebagai contoh, ayat
tentang hukum potong tangan tidak bisa sama sekali dimaknakan lain atau
ditafsirkan sesuai kondisi kekinian, tetapi persoalan kekinian seperti kasus
korupsi memang harus diberlakukan hukum potong tangan agar tidak terjadi lagi
kasus korupsi. Ayat itu tidak bisa ditolak hanya karena ia disebut
sebagai hukum yang melanggar HAM. Nyata sekali rusaknya jika demikian. Ayat itu
memberi informasi kepada kita bahwa dengan diberlakukannya dalam kasus korupsi,
maka ia mampu untuk mencegah terjadinya kasus yang sama. Karena memang
hakikatnya perintah hukum tersebut adalah sebagai pencegah agar tidak terjadi lagi
kasus korupsi dan sebagai penebus dosa bagi orang yang dikenakan sangsi
tersebut. Hal itu sebagaimana yang dikatakan dalam hadis Rasul bahwa:
“Ubadah bin
Shamit ra. berkata: Kami pernah bersama Rasulullah saw dalam suatu
majelis dan beliau bersabda, “Kalian telah membaiatku untuk tidak menyekutukan
Allah dengan apa pun, tidak mencuri dan tidak berzina.” Kemudian beliau membaca
keseluruhan ayat, “Siapa di antara kalian memenuhinya maka pahalanya di sisi
Allah. Siapa saja yang mendapatkan dari hal itu sesuatu, kemudian diberi
sanksi, maka sanksinya menjadi penebus dosa baginya. Siapa saja yang
mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah menutupinya jika Dia berkehendak,
Dia mengampuninya atau mengazabnya (HR al-Bukhari).
Itulah
kurang lebih faedah atau hikmah dari penerapan hokum dalam Islam. Sedangkan jika
ayat tersebut ditafsirkan dengan makna lain yang kemudian hokum bagi pencuri/korupsi
dihukum dengan menggunakan hukum lain, maka yang terjadi adalah tidak memberi
efek jera kepada pelaku korupsi dan sudah pasti tidak menjadikan pelaku korupsi
yang disangsi sama sekali tidak tertebus dosa mereka ketika di akhirat kelak. Karena
secara nyata mereka tidak disangsi dengan hukum sebagaimana yang tertera dalam
ayat tersebut. Dan saya perhatikan tafsir hermeneutika memang ingin memisahkan
agar dalam menafsirkan al-Qur’an, terpisah dari ikatan Aqidah Islam atau World
View Islam. Seperti yang Pak Achsin katakana kemarin, bahwa Rahman menginginkan
agar dalam menafsirkan al-Qur’an terpisah dari ikatan Aqidah tersebut. Rahman
hanya ingin menjadikanya sebagai ‘Konsep Moral’ yang bersih dari unsur Aqidah
Islam. Padahal dalam memahami al-Qur’an, tidak bisa lepas dari Aqidah yang
melandasinya. Dan saya mencium ada aroma Sekularisasi dari pernyataan yang
bapak kutip dari Rahman tersebut.
Itu
sedikit barangkali yang menjadi pengantar diskusi kita siang nanti. Dan sekaligus
ingin menjawab seruan bapak agar kami mengkritisi makalah yang telah bapak
bagikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar