Jumat, 25 November 2016

KRITIK TERHADAP HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN #1


Dalam hal penafsiran al-Qur’an, para salafus shalih telah memulai melakukannya dengan menggunakan metode bil ma’tsur yang sesuai dengan konteks dan zaman mereka.

Tanggapan:
Jika dilihat dari stetmen ini, maka di sini sepertinya Pak Achsin keliru dalam memahami apa yang dimaksud dengan tafsir bil ma’tsur, padahal sudah dipelajari sebelumnya. Tepatnya saat Sutan Pane menampilkan makalahnya yang membahas 4 metode tafsir. Di sana sama sekali tidak ada penjelasan bahwa tafsir bil ma’tsur memiliki makna seperti apa yang oleh Pak Achsin maksudkan dan pahami. Metode tafsir bil ma’tsur bukanlah metode tafsir yang sesuai dengan konteks dan zaman panafsir. Akan tetapi ia adalah metode tafsir yang menjadikan ayat al-Qur’an sebagai penjelas bagi ayat yang lain dan atau ayat al-Qur’an yang dijelaskan dengan hadis. Hal itu saya kemukakan karena saya termasuk orang yang membaca isi kitab tafsir yang menggunakan metode bil ma’tsur tersebut. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azimnya Ibnu Katsir misalnya. Di sana beliau selalu berusaha menjelaskan ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadis. Beliau sama sekali tidak menjadikan letak geografis, konteks, atau zaman yang beliau alami sebagai landasan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Mungkin Pak Achsin bisa membaca sendiri kitab Ibnu Katsir itu, sehingga bapak bisa mengetahui apa isi tafsir beliau.
Wallahu a’lam…

Kalimat nomor satu di atas kemudian dilanjutkan dengan pernyataan, bahwa “Ketika metodologi itu dibawa ke konteks berbeda¸ konteks kekinian (kontemporer), ternyata produk tafsir tidak lagi dapat mendialogkan al-Qur’an dengan kebutuhan dan persoalan yang baru. Dengan demikian, dibutuhkan dan perlu dilakukan elaborasi metodologi baru yang dapat dan mengakomodasi perkembangan zaman sehingga al-Qur’an sebagai petunjuk tetap menjadi elastis dan fleksibel serta dapat menjawab berbagai persoalan dan sesuai dimana pun dan kapan pun juga (shalih li kulli zamaan wa makaan).

Tanggapan:
Sepertinya munculnya stetmen di atas akibat dari belumnya membaca kitab yang menggunakan metode tafsir bil ma’tsur sebagaimana yang kami contohkan di atas. Atau karena tidak fahamnya Pak Achsin terhadap kandungan dari ayat2 yang menggunakan metode tafsir tersebut sehingga berstetmen bahwa “produk tafsir tidak lagi dapat mendialogkan al-Qur’an dengan kebutuhan dan persoalan yang baru.” Mungkin perlu dipahami juga bahwa, kitab tafsir adalah bukan kitab yang digunakan untuk menghukumi suatu fakta sosial atau persoalan yang yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi ia adalah kitab yang digunakan untuk menjelaskan isi kandungan yang ada dalam kalamullah yang bernama Al-Qur’an itu. Dan dalam menafsirkan al-Qur’an, tidak bisa sama sekali menjadikan al-Qur’an agar tunduk pada kondisi sosial masyarakat, akan tetapi fakta sosiallah yang harus mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh wahyu al-Qur’an. Sebagai contoh, ayat tentang hukum potong tangan tidak bisa sama sekali dimaknakan lain atau ditafsirkan sesuai kondisi kekinian, tetapi persoalan kekinian seperti kasus korupsi memang harus diberlakukan hukum potong tangan agar tidak terjadi lagi kasus korupsi. Ayat itu tidak bisa ditolak hanya karena ia disebut sebagai hukum yang melanggar HAM. Nyata sekali rusaknya jika demikian. Ayat itu memberi informasi kepada kita bahwa dengan diberlakukannya dalam kasus korupsi, maka ia mampu untuk mencegah terjadinya kasus yang sama. Karena memang hakikatnya perintah hukum tersebut adalah sebagai pencegah agar tidak terjadi lagi kasus korupsi dan sebagai penebus dosa bagi orang yang dikenakan sangsi tersebut. Hal itu sebagaimana yang dikatakan dalam hadis Rasul bahwa:

Ubadah bin Shamit ra. berkata: Kami pernah bersama Rasulullah saw dalam suatu majelis dan beliau bersabda, “Kalian telah membaiatku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, tidak mencuri dan tidak berzina.” Kemudian beliau membaca keseluruhan ayat, “Siapa di antara kalian memenuhinya maka pahalanya di sisi Allah. Siapa saja yang mendapatkan dari hal itu sesuatu, kemudian diberi sanksi, maka sanksinya menjadi penebus dosa baginya. Siapa saja yang mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah menutupinya jika Dia berkehendak, Dia mengampuninya atau mengazabnya (HR al-Bukhari).

Itulah kurang lebih faedah atau hikmah dari penerapan hokum dalam Islam. Sedangkan jika ayat tersebut ditafsirkan dengan makna lain yang kemudian hokum bagi pencuri/korupsi dihukum dengan menggunakan hukum lain, maka yang terjadi adalah tidak memberi efek jera kepada pelaku korupsi dan sudah pasti tidak menjadikan pelaku korupsi yang disangsi sama sekali tidak tertebus dosa mereka ketika di akhirat kelak. Karena secara nyata mereka tidak disangsi dengan hukum sebagaimana yang tertera dalam ayat tersebut. Dan saya perhatikan tafsir hermeneutika memang ingin memisahkan agar dalam menafsirkan al-Qur’an, terpisah dari ikatan Aqidah Islam atau World View Islam. Seperti yang Pak Achsin katakana kemarin, bahwa Rahman menginginkan agar dalam menafsirkan al-Qur’an terpisah dari ikatan Aqidah tersebut. Rahman hanya ingin menjadikanya sebagai ‘Konsep Moral’ yang bersih dari unsur Aqidah Islam. Padahal dalam memahami al-Qur’an, tidak bisa lepas dari Aqidah yang melandasinya. Dan saya mencium ada aroma Sekularisasi dari pernyataan yang bapak kutip dari Rahman tersebut.

Itu sedikit barangkali yang menjadi pengantar diskusi kita siang nanti. Dan sekaligus ingin menjawab seruan bapak agar kami mengkritisi makalah yang telah bapak bagikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar