Senin, 02 Januari 2017

Aktivis HTI vs Dosen Brawijaya Sesion # II

Diskusi berlangsung ketika ada seorang aktivis HTI memposting sebuah tautan mengenai seminar nasional yang diselenggarakan oleh HIQMA UIN Jakarta pada tanggal 20/10/16, yang menghadirkan seorang narasumber pakar tafsir UIN SYAHID Jakarta, Prof. Dr H Said Aqil Husin al-Munawar MA. Di dalam tautan itu membahas tentang penafsiran surah Al-Maidah ayat 51, dimana beberapa bulan belakangan ayat ini menjadi viral akibat pernyataan yang disampaikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuka Cjahya Purnama atau AHOK. Pada seminar tersebut, Guru Besar Tafsir-Hadis Fakultas Ushuludin UIN Jakarta, Prof Dr H Said Aqil Husin al-Munawar MA menegaskan bahwa tidak ada lagi yang perlu ditafsirkan dari al-Maidah ayat 51. Pasalnya, ayat itu sudah jelas untuk tidak menjadikan non muslim sebagai pemimpin. Hal ini disampaikannya saat menjawab pertanyaan salah satu peserta Seminar Nasional bertema al-Qur’an untuk Semua yang diselenggarakan HIQMA UIN Jakarta pada miladnya yang ke-28 di Auditorium Harun Nasution, Kamis (20/10/16).

Untuk penjelasan isi tautan lebih lanjut, silahkan klik di sini http://www.uinjkt.ac.id/id/ini-kata-said-aqil-husin-al-munawar-tentang-tafsir-al-maidah-51/ 

Setelah membaca tautan tersebut, ada seorang dosen Universitas Brawijawa yang kebetulan juga sedang menempuh studi S2-nya yang ke-5 di Pascasarjana UIN MALIKI MALANG bersama seorang aktivis HTI.

Di dalam diskusi ini, A adalah Dosen Brawijawa dan HTI adalah aktivis HTI. Selamat menyaksikan.

Beliau mulai mengomentari tulisan di atas dengan berkata:
A:
Jadi, bila saya ikuti model penafsiran itu... maka semua anak bangsa... baik laki maupun perempuan yg muslim, tidak boleh (haram) kerja di perusahaan yg pimpinanannya non muslim??? Waduuuh... pengangguran akan berjibun... dan diminta cari pimpinan perusahaan yg muslim yg tidak banyak bisa menampungnya... apa pendapat tuan salam???
Sanggupkah kita mencari solusinya atas hal itu? Tragis sekali... bila teks ditafsir dgn semena mena... apa memang begitu maksud Allah menurunkan al-maidah 51... saya kira Allah yang pengasih lagi penyayang tidak mungkin meminta seperti itu... bila yg diminta, bukan seperti Tuhan yg saya kenal... Tuhan yang saya cinta dan sembah tiap hari... itu kayaknya Tuhan yang lain...
*Bila yg diminta seperti itu...

HTI:
Sepertinya Bapak Achsin keliru dalam memahami tafsiran ayat di atas. Padahal dalam tafsiran ayat tersebut sama sekali tidak memberi indikasi bahwa seorang muslim tidak boleh bekerja di perusahaan2 yg dimiliki oleh orang Kafir. Tafsiran ayat tersebut hanya terkait dengan Haramnya mendukung, dan memilih pemimpin Kafir. Sedangkan bolehnya bekerja di perusahaan2 mereka ada di bagian dalil lain. Sebagai contoh Bapak, Ali bin Abu Thalib pernah bekerja dengan orang Yahudi dalam bidang pertanian. Dan ketika hal itu diketahui oleh Rasul, beliau justru sama sekali tidak melarangnya. Dan juga terkait dengan melakukan aktivitas jual-beli dengan orang Kafir, Rasul dan para sahabat justru melakukannya. Hal itu memberi indikasi bahwa bekerja dan berjual beli dengan orang Kafir tidak masalah, selama tidak ada dalil yg mengharamkan dan tidak terkait dengan aktivitas jual-beli barang yang diharamkan. Begitu Pak...

A:
Haaaa... itu namanya tafsir pilih pilih... tidak konprehensif... weee lha dhalah... kok bisa menyalahkan tafsir nya si achsin itu, surat kuasa dari Tuhan utk menafsir itu apa sudar diterima oleh al mukarram sdr salam? He he he... karena Tuhan yg saya sembah tiap hari, dlm keyakinan saya tidak mungkin menurunkan ayat utk dimaksudkan seperti itu...

HTI:
Maaf Pak, kita ini bukan pilih2 tafsir. Tapi memang sperti itulah dalam menyikapi suatu aktivitas yg ditunjukkan oleh dalil. Dan itu adalah pemahaman komperhensif terhadap dalil-dalil yang ada. Kita tidak bisa memberi kesimpulan terhadap suatu perbuatan yang hanya berdasarkan satu dalil, tapi harus komperhensif agar memperoleh konklusi yang lebih tepat dalam menyikapi suatu masalah. Karena ini terkait dengan hubungan kaum Muslim dengan kaum Kafir. Maka perly dicari keseluruhan dalil terkait dengan hal tersebut. Misalnya dalil jual beli dengan orang Kafir, bekerja di perusahaan orang Kafir, dan memilih pemimpin Kafir. Harus dicari semua dalilnya, karena Rasul dalam prakteknya dalam ketiga aspek tersebut memang beda. Nach, itulah sekali lagi pentingnya mengetahui semua dalil terkait dengan orang Kafir. Bukan memahami 1 dalil kemudian mengeneralisir. Dan hal yang mesti dipahami juga adalah jika beda fakta, maka beda juga hukumnya. Tidak bisa disama rata. Sebab jika demikian, maka itu namanya memaksa 1 dalil untuk menghukumi semua objek yang berbeda. Padahal ada ribuan ayat dan hadits untuk fakta yang berbeda. Maaf Pak, keyakinan yang tidak dibangun dengan pemahaman yang komperhensif terhadap dalil akan membawa beliefernya ke arah yang salah.

A:
Lalu pemimpin itu kriteria nya apa hanya gubernur? Bupati dan camat serta kepala desa atau pimpinan perusahaan tidak?

HTI:
Pemimpin dalam mengatur urusan umat berbeda dengan urusan perusahaan. Umat memiliki urusan yang berbeda dengan urusan perusahaan. Pemilik perusahaan memimpin pekerjanya untuk kepentingan perusahaannya,  sedangkan pemimpin Umat memimpin untuk mengurusi urusan Umat. Dari sana sudah jelas memiliki orientasi yang berbeda. Dan itu secara jelas memiliki hukum yang berbeda. Kita tidak bisa memahami bahwa hukum Islam sama dengan hukum yang dilegalkan di negara ini. Pencuri dan pezina hukumnya sama, yakni Penjara. Jelas tidak bisa. Walau pun antara pencuri dan pezina memiliki jumlah masa yang berbeda dalam penjara, tapi memiliki substansi hukum yang sama. Yakni PENJARA.
Jadi, jelas beda untuk objek yang berbeda.

A:
Waduuuhh... pemahaman konprehensif itu apa ya yg mulia tuan salam? Ini apa bukan stempel subjektif pejoratif... yg meletakkan penafsiran subjektif dirinya lebih benar dibanding yg lain, tafsir org lain dianggap dan melecehkan tafsir org lain (pejoratif) itu... ini boleh jadi keotoriteran penafsiran... hanya versi dari dirinya atau kelompoknya yang paling sahih... yg lain khatta'... sesat... dan tidak benar...

HTI:
Agar tidak disebut otoriter
agar tidak disebut pejotatif
agar tidak disebut melecehkan
agar tidak disebut khatta'
Dan agar tidak disebut subjektifm dll.

Bapak bisa memberikan tafsiran yang lebih rasional dan lebih kuat secara dalil.
Setelah itu saya ikut Tafsiran Bapak insya Allah jika memang lebih rasional dan lebih kuat secara nash. Saya orangnya begitu aja Pak. Jika ada pendapat yang lebih kuat, maka itu yang ku ikuti. Saya tidak suka mempertahankan argumentasi pribadi yang lemah.

A:
Ya ya ya... tuan salam memang orang yg terbuka dan intelektual muslim yg huuuebat... karena dapat menerima perbedaan pandangan dan hasil tafsir lainnya... syukurlah bila demikian...

HTI:
Saya hanya bersikap apa adanya terhadap kehidupan persepsi yang ada di tengah2 masyarakat.
Yang saya fahami adalah dari sekian banyak pendapat orang lain, pasti ada salah satu di antaranya yang paling benar. Atau muncul satu kebenaran dari setiap argumentasi yang mereka sampaikan.

A:
Namun dgn cara apa, utk menilai kebenaran manakah yg itu pasti yg dimaksud dan dimaui oleh Tuhan yg kita sembah? ... dalam madzab sunni pun, antara beliau berempat saja tidak sama... kalau sama pasti tidak ada empat madzab...

HTI:
Ke empat Imam tersebut memang memiliki perbedaan dalam beberapa hal terkait hukum yang mereka gali. Karena al Qur'an memberi indikasi untuk terjadinya perbedaan tersebut. Dan sebelum perbedaan yang terjadi di antara ke empat imam tersebut, ada dua kelompok Sahabat di masa Rasul pernah terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Tapi Rasul tetap membenarkan kedua kelompok tersebut. Akan tetapi ada banyak hal yang mereka justru tidak memiliki perbedaan di sana. Baik para sahabat maupun keempat mazhab tersebut. Karena memang ada banyak nash baik dari al Qur'an maupun dari Hadist yang sudah jelas dalam makna dan objeknya. Mereka tetap sepakat dalam hal tersebut. Dan salah satunya adalah terkait dengan HARAMnya memilih pemimpin Kafir.
Jadi, sebenarnya tidak ada masalah jika ada pemahaman yang digali dari nash2 tersebut yang memunculkan perbedaan. Adapun untuk menilai sebuah pernyataan itu benar atau tidak, maka cukup 2 hal yang menjadi syarat utama, yaitu Rasional dan Sesuai dengan Dalil.

A:
Oooo... begicuuu... jadi kalo mereka gpp... tapi kalo penafsir lain tidak boleh...Kecuali syaikh taqiyyudin an-nabhani yg penafsirannya pasti benar... termasuk MUI...

HTI:
Waduh....kok jadi ga nyambung gini...🤔
Saya tidak mengatakan Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dan MUI itu benar atau salah, tapi saya hanya memberi indikasi bahwa siapapun yang menafsir dan kemudian telah sesuai dengan Nash dan Rasional, maka pasti benar. Ga ada bahasa saya yang memberi indikasi bahwa syaikh taqiyuddin dan MUI itu pasti benar. Dan perasaan sejak tadi kita tidak sedang membicarakan Syaikh Taqiyuddin dan MUI. Oleh sebab itulah aku bilang kok jadi ga nyambung gini.

A:
Kok benar stempelnys ke aku.. iyya.. kayaknya pikiranku lagi ngefong... kadang nyambung kadang tidak... yg selalu nyambung dan senantiasa benar, ya cuma tuan salaam...

HTI:
Saya tidak bisa mengatakan siapa benar siapa salah. Tapi biarlah orang lain yang menyimpulkan dari pendapat Bapak dan Saya. Aku mah apa atuh....

A:
Ooooo... betul dan benar... itulah pikiran kalau lagi "ngefong"...  kadang nyambung... kadang tidak... jadi ya begituuu... mungkin pikiran lagi galau... kacau... jadi gak nyambung dgn konteks...

HTI:
Hmm...saya no komen soal itu.

Diskusi berakhir....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar