Diskusi berlangsung ketika ada seorang aktivis HTI memposting sebuah tautan mengenai seminar nasional yang diselenggarakan oleh HIQMA UIN Jakarta pada tanggal 20/10/16, yang menghadirkan seorang narasumber pakar tafsir UIN SYAHID Jakarta, Prof. Dr H Said Aqil Husin
al-Munawar MA. Di dalam tautan itu membahas tentang penafsiran surah Al-Maidah ayat 51, dimana beberapa bulan belakangan ayat ini menjadi viral akibat pernyataan yang disampaikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuka Cjahya Purnama atau AHOK. Pada seminar tersebut, Guru Besar Tafsir-Hadis Fakultas
Ushuludin UIN Jakarta, Prof Dr H Said Aqil Husin al-Munawar MA menegaskan
bahwa tidak ada lagi yang perlu ditafsirkan dari al-Maidah ayat 51.
Pasalnya, ayat itu sudah jelas untuk tidak menjadikan non muslim sebagai
pemimpin. Hal ini
disampaikannya saat menjawab pertanyaan salah satu peserta Seminar
Nasional bertema al-Qur’an untuk Semua yang diselenggarakan HIQMA UIN
Jakarta pada miladnya yang ke-28 di Auditorium Harun Nasution, Kamis
(20/10/16).
Untuk penjelasan isi tautan lebih lanjut, silahkan klik di sini http://www.uinjkt.ac.id/id/ini-kata-said-aqil-husin-al-munawar-tentang-tafsir-al-maidah-51/
Setelah membaca tautan tersebut, ada seorang dosen Universitas Brawijawa yang kebetulan juga sedang menempuh studi S2-nya yang ke-5 di Pascasarjana UIN MALIKI MALANG bersama seorang aktivis HTI.
Di dalam diskusi ini, A adalah Dosen Brawijawa dan HTI adalah aktivis HTI. Selamat menyaksikan.
Beliau mulai mengomentari tulisan di atas dengan berkata:
A:
Jadi,
bila saya ikuti model penafsiran itu... maka semua anak bangsa... baik
laki maupun perempuan yg muslim, tidak boleh (haram) kerja di perusahaan
yg pimpinanannya non muslim??? Waduuuh... pengangguran akan berjibun...
dan diminta cari pimpinan perusahaan yg muslim yg tidak banyak bisa
menampungnya... apa pendapat tuan salam???
Sanggupkah
kita mencari solusinya atas hal itu? Tragis sekali... bila teks
ditafsir dgn semena mena... apa memang begitu maksud Allah menurunkan
al-maidah 51... saya kira Allah yang pengasih lagi penyayang tidak
mungkin meminta seperti itu... bila yg diminta, bukan seperti Tuhan yg
saya kenal... Tuhan yang saya cinta dan sembah tiap hari... itu kayaknya
Tuhan yang lain...
*Bila yg diminta seperti itu...
HTI:
Sepertinya
Bapak Achsin keliru dalam memahami tafsiran ayat di atas. Padahal dalam
tafsiran ayat tersebut sama sekali tidak memberi indikasi bahwa seorang
muslim tidak boleh bekerja di perusahaan2 yg dimiliki oleh orang Kafir.
Tafsiran ayat tersebut hanya terkait dengan Haramnya mendukung, dan
memilih pemimpin Kafir. Sedangkan bolehnya bekerja di perusahaan2 mereka
ada di bagian dalil lain. Sebagai contoh Bapak, Ali bin Abu Thalib
pernah bekerja dengan orang Yahudi dalam bidang pertanian. Dan ketika
hal itu diketahui oleh Rasul, beliau justru sama sekali tidak
melarangnya. Dan juga terkait dengan melakukan aktivitas jual-beli
dengan orang Kafir, Rasul dan para sahabat justru melakukannya. Hal itu
memberi indikasi bahwa bekerja dan berjual beli dengan orang Kafir tidak
masalah, selama tidak ada dalil yg mengharamkan dan tidak terkait
dengan aktivitas jual-beli barang yang diharamkan. Begitu Pak...
A:
Haaaa...
itu namanya tafsir pilih pilih... tidak konprehensif... weee lha
dhalah... kok bisa menyalahkan tafsir nya si achsin itu, surat kuasa
dari Tuhan utk menafsir itu apa sudar diterima oleh al mukarram sdr
salam? He he he... karena Tuhan yg saya sembah tiap hari, dlm keyakinan
saya tidak mungkin menurunkan ayat utk dimaksudkan seperti itu...
HTI:
Maaf
Pak, kita ini bukan pilih2 tafsir. Tapi memang sperti itulah dalam
menyikapi suatu aktivitas yg ditunjukkan oleh dalil. Dan itu adalah
pemahaman komperhensif terhadap dalil-dalil yang ada. Kita tidak bisa
memberi kesimpulan terhadap suatu perbuatan yang hanya berdasarkan satu
dalil, tapi harus komperhensif agar memperoleh konklusi yang lebih tepat
dalam menyikapi suatu masalah. Karena ini terkait dengan hubungan kaum
Muslim dengan kaum Kafir. Maka perly dicari keseluruhan dalil terkait
dengan hal tersebut. Misalnya dalil jual beli dengan orang Kafir,
bekerja di perusahaan orang Kafir, dan memilih pemimpin Kafir. Harus
dicari semua dalilnya, karena Rasul dalam prakteknya dalam ketiga aspek
tersebut memang beda. Nach, itulah sekali lagi pentingnya mengetahui
semua dalil terkait dengan orang Kafir. Bukan memahami 1 dalil kemudian
mengeneralisir. Dan hal yang mesti dipahami juga adalah jika beda fakta,
maka beda juga hukumnya. Tidak bisa disama rata. Sebab jika demikian,
maka itu namanya memaksa 1 dalil untuk menghukumi semua objek yang
berbeda. Padahal ada ribuan ayat dan hadits untuk fakta yang berbeda.
Maaf Pak, keyakinan yang tidak dibangun dengan pemahaman yang
komperhensif terhadap dalil akan membawa beliefernya ke arah yang salah.
A:
Lalu pemimpin itu kriteria nya apa hanya gubernur? Bupati dan camat serta kepala desa atau pimpinan perusahaan tidak?
HTI:
Pemimpin
dalam mengatur urusan umat berbeda dengan urusan perusahaan. Umat
memiliki urusan yang berbeda dengan urusan perusahaan. Pemilik
perusahaan memimpin pekerjanya untuk kepentingan perusahaannya,
sedangkan pemimpin Umat memimpin untuk mengurusi urusan Umat. Dari sana
sudah jelas memiliki orientasi yang berbeda. Dan itu secara jelas
memiliki hukum yang berbeda. Kita tidak bisa memahami bahwa hukum Islam
sama dengan hukum yang dilegalkan di negara ini. Pencuri dan pezina
hukumnya sama, yakni Penjara. Jelas tidak bisa. Walau pun antara pencuri
dan pezina memiliki jumlah masa yang berbeda dalam penjara, tapi
memiliki substansi hukum yang sama. Yakni PENJARA.
Jadi, jelas beda untuk objek yang berbeda.
A:
Waduuuhh...
pemahaman konprehensif itu apa ya yg mulia tuan salam? Ini apa bukan
stempel subjektif pejoratif... yg meletakkan penafsiran subjektif
dirinya lebih benar dibanding yg lain, tafsir org lain dianggap dan
melecehkan tafsir org lain (pejoratif) itu... ini boleh jadi
keotoriteran penafsiran... hanya versi dari dirinya atau kelompoknya
yang paling sahih... yg lain khatta'... sesat... dan tidak benar...
HTI:
Agar tidak disebut otoriter
agar tidak disebut pejotatif
agar tidak disebut melecehkan
agar tidak disebut khatta'
Dan agar tidak disebut subjektifm dll.
Bapak bisa memberikan tafsiran yang lebih rasional dan lebih kuat secara dalil.
Setelah
itu saya ikut Tafsiran Bapak insya Allah jika memang lebih rasional dan
lebih kuat secara nash. Saya orangnya begitu aja Pak. Jika ada pendapat
yang lebih kuat, maka itu yang ku ikuti. Saya tidak suka mempertahankan
argumentasi pribadi yang lemah.
A:
Ya
ya ya... tuan salam memang orang yg terbuka dan intelektual muslim yg
huuuebat... karena dapat menerima perbedaan pandangan dan hasil tafsir
lainnya... syukurlah bila demikian...
HTI:
Saya hanya bersikap apa adanya terhadap kehidupan persepsi yang ada di tengah2 masyarakat.
Yang
saya fahami adalah dari sekian banyak pendapat orang lain, pasti ada
salah satu di antaranya yang paling benar. Atau muncul satu kebenaran
dari setiap argumentasi yang mereka sampaikan.
A:
Namun
dgn cara apa, utk menilai kebenaran manakah yg itu pasti yg dimaksud
dan dimaui oleh Tuhan yg kita sembah? ... dalam madzab sunni pun, antara
beliau berempat saja tidak sama... kalau sama pasti tidak ada empat
madzab...
HTI:
Ke
empat Imam tersebut memang memiliki perbedaan dalam beberapa hal
terkait hukum yang mereka gali. Karena al Qur'an memberi indikasi untuk
terjadinya perbedaan tersebut. Dan sebelum perbedaan yang terjadi di
antara ke empat imam tersebut, ada dua kelompok Sahabat di masa Rasul
pernah terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Tapi Rasul tetap
membenarkan kedua kelompok tersebut. Akan tetapi ada banyak hal yang
mereka justru tidak memiliki perbedaan di sana. Baik para sahabat maupun
keempat mazhab tersebut. Karena memang ada banyak nash baik dari al
Qur'an maupun dari Hadist yang sudah jelas dalam makna dan objeknya.
Mereka tetap sepakat dalam hal tersebut. Dan salah satunya adalah
terkait dengan HARAMnya memilih pemimpin Kafir.
Jadi,
sebenarnya tidak ada masalah jika ada pemahaman yang digali dari nash2
tersebut yang memunculkan perbedaan. Adapun untuk menilai sebuah
pernyataan itu benar atau tidak, maka cukup 2 hal yang menjadi syarat
utama, yaitu Rasional dan Sesuai dengan Dalil.
A:
Oooo...
begicuuu... jadi kalo mereka gpp... tapi kalo penafsir lain tidak
boleh...Kecuali syaikh taqiyyudin an-nabhani yg penafsirannya pasti
benar... termasuk MUI...
HTI:
Waduh....kok jadi ga nyambung gini...🤔
Saya
tidak mengatakan Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dan MUI itu benar atau
salah, tapi saya hanya memberi indikasi bahwa siapapun yang menafsir dan
kemudian telah sesuai dengan Nash dan Rasional, maka pasti benar. Ga
ada bahasa saya yang memberi indikasi bahwa syaikh taqiyuddin dan MUI
itu pasti benar. Dan perasaan sejak tadi kita tidak sedang membicarakan
Syaikh Taqiyuddin dan MUI. Oleh sebab itulah aku bilang kok jadi ga
nyambung gini.
A:
Kok
benar stempelnys ke aku.. iyya.. kayaknya pikiranku lagi ngefong...
kadang nyambung kadang tidak... yg selalu nyambung dan senantiasa benar,
ya cuma tuan salaam...
HTI:
Saya
tidak bisa mengatakan siapa benar siapa salah. Tapi biarlah orang lain
yang menyimpulkan dari pendapat Bapak dan Saya. Aku mah apa atuh....
A:
Ooooo...
betul dan benar... itulah pikiran kalau lagi "ngefong"... kadang
nyambung... kadang tidak... jadi ya begituuu... mungkin pikiran lagi
galau... kacau... jadi gak nyambung dgn konteks...
HTI:
Hmm...saya no komen soal itu.
Diskusi berakhir....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar